Lihat ke Halaman Asli

Syahrian

selenophile, aquarius, aktivis

Lembar yang Terpisah

Diperbarui: 15 November 2024   07:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Instagram @syahriiaan

"Rani," aku memulai, suara hampir tak terdengar di tengah riuh kafe, "apa arti jarak untukmu?"

Dia menatapku, namun tak langsung menjawab. Wajahnya tenang, tatap matanya dingin, tapi aku bisa melihat raut kesedihan yang samar di matanya. Rani tak pernah bisa menyembunyikan apa yang dia rasakan, meskipun kata-kata tak pernah mudah keluar darinya.

"Apa maksudmu, Robby?" jawabnya akhirnya, suaranya lembut, namun ada ketegangan yang terpendam.

"Entahlah," aku menjawab, mengusap wajah dengan tangan, merasa sedikit kelelahan. "Aku hanya mencoba... berulangkali mengartikan jarak, namun sampai saat ini, aku tak tahu bagaimana cara mendekatkannya."

Rani menundukkan kepala, tangannya menggenggam cangkir kopi yang sudah hampir habis. Di matanya, ada keraguan yang sulit kuartikan. "Kita cukup mengikuti aliran, bukan?" katanya pelan. "Aliran waktu, aliran takdir. Kadang, sejauh apapun jaraknya, semua akan mengalir dan bemuara pada hilirnya."

Aku mengamati Rani, tak bisa memungkiri bahwa aku merindukannya lebih dari sekadar pertanyaan konyolku ini. Kami sudah terlalu sering saling menyembunyikan rasa ini, muak dengan kata-kata indah ---yang tak pernah menjadi paragraf utuh. Apalagi cerita?

Hari-hari berlalu, dan semakin sering kami bertemu dalam berbagai kesempatan, aku merasa perasaan ini semakin tumbuh. Tetapi, entah bagaimana, kami selalu menemukan cara untuk mengalihkan percakapan ke hal-hal yang lebih aman---perihal pekerjaan, kegiatan, atau bahkan obrolan ringan tentang cuaca. Tapi di balik semua itu, aku tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang ingin kami ungkapkan.

Aku menulis puisi untuknya, banyak sekali. Namun tak pernah kutunjukkan. Di setiap baris, ada bayang-bayangnya, ada dirinya yang berdiam di ruang-ruang pikiranku. Setiap kata, setiap kalimat yang kubuat, seperti bentuk lain dari perasaan yang tak mampu kuungkapkan secara langsung.

Isyarat darinya ada, namun terhalang dinding tebal. Di matanya, ada kehangatan yang berusaha ia sembunyikan. Terkadang, aku melihatnya menatap jauh ke luar jendela, seolah ada sesuatu yang sedang ia cari, sesuatu yang ia tak bisa temukan di dunia yang dia jalani. Jujur, saat itu aku takut, takut salah membaca tanda.

Namun, kami berdua tahu---meskipun kami berbicara dengan cara kami sendiri, ada sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline