Lihat ke Halaman Asli

Syahrial

TERVERIFIKASI

Guru Madya

Langkah di Titik Nol

Diperbarui: 19 Januari 2025   05:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Meta AI 

Bayangan asing itu menatap balik dari cermin kamar mandi. Titin melihat lingkar hitam di bawah mata dan bibir pucat—jejak tiga puluh lima tahun yang terukir dalam retakan-retakan halus. Air mengalir dari keran, menderu bagai lagu melankolis yang mengiringi waktu yang terlepas dari genggaman.

Jemarinya menyentuh cermin dingin, berusaha menggapai sosok dirinya yang dulu. Perempuan penuh semangat yang menulis puisi di sela waktu dan bermimpi menaklukkan dunia lewat kata-kata.

"Bu, Didit telat!" Suara putranya memecah lamunan.

Titin merapikan blazer kerjanya yang kusut, cerminan hidupnya yang penuh kompromi. Sapuan lipstik merah di bibir menjadi topeng yang tak mampu menyembunyikan kelelahan.

Di meja makan, Didit mengaduk-aduk nasi gorengnya tanpa selera. "Ibu sakit?" tanyanya lirih.

"Ibu hanya lelah," jawab Titin, membelai rambut Didit yang berantakan. Ia tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan gundah yang mendesak di dadanya.

Wage, suaminya, tetap terpaku pada laptop. Jemarinya menari di atas keyboard, seolah dunia di sekelilingnya tak ada. "Berangkat duluan. Meeting jam sembilan," ucapnya datar.

Titin mengangguk. Lima belas tahun pernikahan mereka telah berubah menjadi rutinitas tanpa rasa—mesin tua yang berderit dalam kesunyian.

Saat Wage pergi, Didit menatap ibunya dengan pandangan penuh tanya. "Ibu... kapan kita bisa main bareng lagi? Kayak dulu."

Pertanyaan itu menghentikan langkah Titin sejenak. "Nanti, kalau Ibu sudah tidak sibuk," jawabnya, meski di dalam hati ia tahu jawabannya tak memuaskan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline