Lihat ke Halaman Asli

Syahrial

TERVERIFIKASI

Guru Madya

Rustam Sang Dermawan

Diperbarui: 13 Januari 2025   04:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Meta AI 

Hujan di Belitung datang tiba-tiba, deras dan lebat seperti kemurahan hati Bang Rustam. Aku tak pernah bisa menebak kapan hujan atau kemurahan hati itu akan muncul. Setiap pagi, aku menunggu bus di depan kedai kopi kecilku di Manggar, sambil mengawasi dagangan yang kutata rapi dalam kardus-kardus bekas. Lima kilo kopi bubuk dan tiga kilo kemplang siap kubawa ke Tanjungpandan.

Rustam turun dari bus seperti biasa, senyumnya lebar meski kantung hitam di bawah matanya menunjukkan lelah yang ia tutupi. "Pagi, Bang Sarpin! Hari ini bus sepi, jadi bisa santai," katanya sambil membantu mengangkat kardus-kardusku ke bagasi.

"Tiga jam tidur lagi, Bang?" tanyaku sambil melirik kantung matanya yang semakin hari tampak menghitam.

Rustam hanya tertawa, seperti biasa. Ia selalu begitu: murah hati dan suka menolong. Kalau ada penumpang kesusahan, ia bukan hanya memberi tumpangan gratis, tapi juga sering menyelipkan uang ke tangan mereka. Aku selalu heran, dari mana ia punya uang sebanyak itu? Tapi aku memilih tak bertanya. 

Pagi itu, Rustam kembali menunjukkan kemurahan hatinya. Di tengah perjalanan, ia berhenti untuk seorang nenek yang berjalan tertatih membawa sayuran. Ketika nenek itu hendak membayar, Rustam menolaknya. “Ini untuk beli obat, ya, Nek,” katanya sambil menyelipkan uang lima puluh ribu ke tangan nenek itu.  

Rustam tampak seperti malaikat penolong di mata semua orang. Dalam perjalanan ke Tanjungpandan, ia berhenti lagi untuk seorang ibu muda dengan dua anak. Anak bungsunya tampak demam, wajahnya memerah, sementara kakaknya menggenggam tangan ibu mereka erat-erat. Rustam mengatur kursi agar anak itu bisa berbaring dengan nyaman. Ketika sang ibu hendak membayar ongkos, Rustam melambaikan tangan. “Tak usah, Bu. Ini sudah tugas saya,” katanya, bahkan menyelipkan uang ke tangan si ibu untuk membeli obat anaknya.  

“Bang, kau selalu baik. Tapi dari mana kau punya uang sebanyak itu?” tanyaku iseng ketika bus akhirnya berhenti di Tanjungpandan.  

Rustam hanya tertawa kecil. “Rezeki ada di mana-mana, Pin. Kadang Tuhan kirimkan lewat cara yang tak kita duga,” jawabnya sambil menepuk bahuku.  

Namun, rasa penasaran terus menggelitik pikiranku. Bagaimana mungkin seorang sopir bus biasa selalu punya uang baru untuk dibagikan? Aku mulai memperhatikan lebih banyak tentang Rustam. Sorot matanya yang kadang tampak kosong meski bibirnya tersenyum. Gerak-geriknya yang sering tergesa-gesa setiap kali menyelipkan uang.  

Hingga suatu pagi, jawaban itu datang dengan cara yang tak kuduga.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline