Lihat ke Halaman Asli

Syahrial

TERVERIFIKASI

Guru Madya

Jejak di Tanah Kering

Diperbarui: 10 Januari 2025   07:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: Meta AI

Raji mengusap keringat yang mengalir di dahinya, matanya menyipit menatap matahari yang baru merangkak naik dari ufuk timur. Sudah menjadi kebiasaannya sejak dulu untuk bangun sebelum ayam berkokok, memeriksa sawahnya yang kini tak lebih dari hamparan tanah retak-retak. Di kejauhan, gunung Merbabu berdiri angkuh dengan kabut tipis menyelimuti puncaknya, seolah tak peduli dengan kegersangan yang melanda desa Karanganyar.

"Masih seperti kemarin, seperti kemarinnya lagi," gumamnya sambil berjongkok, mengambil segenggam tanah yang terasa kasar dan keras di telapak tangannya. Tiga bulan tanpa hujan telah mengubah sawah yang dulu menghijau menjadi padang gersang berwarna kecokelatan. Retakan-retakan menganga seperti luka yang tak kunjung sembuh, dalam dan menyakitkan.

"Bapak sudah dari tadi di sini?" Suara Sumi membuat Raji menoleh. Istrinya itu berdiri dengan Bayu dalam gendongannya. Anak mereka yang berusia enam tahun masih setengah mengantuk, kepalanya bersandar di bahu sang ibu.

"Namanya juga kebiasaan," Raji tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegetiran dalam suaranya. "Dulu waktu masih ada padi, jam segini sudah harus mengecek air."

Sumi menurunkan Bayu yang langsung berlari ke arah ayahnya. "Istirahat dulu, Pak. Sarapan sudah siap."

Mereka duduk di balai bambu depan rumah warisan orangtua Raji. Rumah sederhana dengan dinding anyaman bambu yang mulai rapuh di beberapa bagian. Sumi menuangkan kopi dari teko aluminium yang sudah kusam, aroma kopi robusta menguar di udara pagi yang kering. Menu sarapan mereka sederhana: nasi putih dengan tempe goreng dan sambal terasi. Raji ingat, dulu mereka masih bisa makan dengan lauk ikan atau telur, tapi sekarang...

"Ayah," Bayu memecah keheningan, "tadi malam aku mimpi hujan."

Raji dan Sumi bertukar pandang. "Mimpi yang bagus itu," kata Sumi sambil mengusap kepala anaknya.

"Iya, hujannya besar sekali. Sawah kita jadi hijau lagi, ada banyak katak yang melompat-lompat." Bayu bercerita dengan mata berbinar. "Kapan ya hujan beneran turun?"

Pertanyaan polos itu menghantam dada Raji. Ia teringat tagihan yang harus dibayar minggu depan. Pak Karso, rentenir desa yang terkenal kejam, sudah memberikan ultimatum. "Kalau minggu depan tidak bayar, tanahmu ini yang ambil. Mau protes? Silakan, toh surat hutangnya ada tanda tanganmu!"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline