Lihat ke Halaman Asli

Syahrial

TERVERIFIKASI

Guru Madya

Hujan di Dago

Diperbarui: 24 Desember 2024   15:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: liputan6.com

Sarah menghela napas panjang sambil melirik langit yang mulai menggelap. Awan kelabu bergerak cepat menyelimuti Dago, membawa aroma khas hujan pegunungan yang begitu familiar bagi warga Bandung. Di sampingnya, Maya masih asyik membidikkan kamera ke berbagai sudut jalan, tampak tak peduli dengan perubahan cuaca.

"Maya, udah dong! Lihat tuh mendungnya makin tebel," gerutu Sarah sambil merapatkan jaket denimnya. Angin dingin mulai berhembus, menggoyangkan dedaunan pohon rindang yang berjajar di sepanjang trotoar Dago.

"Bentar... bentar... Cahaya sore gini tuh perfect banget, Sar! Lihat deh gimana bias cahayanya nembus pohon-pohon itu. Magical!" Maya tetap fokus dengan kameranya, berusaha menangkap momen yang menurutnya sempurna.

Sarah hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu. Sudah tiga jam mereka menyusuri Dago, dan Maya belum juga puas mengabadikan setiap sudut jalanan legendaris ini. Padahal langit semakin mengancam, siap menumpahkan hujannya kapan saja.

Tik... tik... tik... Rintik hujan mulai turun perlahan, seperti isyarat alam yang menertawakan kekeraskepalaan Maya. Sarah segera menarik tangan sahabatnya itu, setengah kesal setengah geli.

"Tuh kan! Aku bilang juga apa. Sekarang kita kehujanan deh!" seru Sarah, berusaha melindungi kepalanya dengan tas selempang. Maya buru-buru memasukkan kameranya ke dalam tas anti air, wajahnya mulai panik.

Hujan semakin deras dalam hitungan detik, khas cuaca Bandung yang memang sulit ditebak. Keduanya berlari pontang-panting mencari tempat berteduh, sementara para pejalan kaki lain juga sibuk menyelamatkan diri. Aroma petrichor menguar kuat, berpadu dengan wangi kopi yang samar-samar tercium dari kedai-kedai di sepanjang jalan.

"Eh, eh, tunggu!" Maya tiba-tiba berhenti, matanya tertuju pada sebuah bangunan di ujung jalan. "Kayaknya itu cafe deh. Yang papannya 'Kanvas Kopi' itu."

Sarah menyipitkan mata, memperhatikan kedai mungil dengan papan kayu usang dan jendela-jendela besar yang memperlihatkan interior hangat di dalamnya. Tanpa pikir panjang, keduanya bergegas menuju kedai tersebut, mengabaikan fakta bahwa mereka sudah setengah basah kuyup.

Dentingan bel kecil menyambut ketika Sarah dan Maya mendorong pintu kayu yang berat. Aroma kopi robusta khas Jawa Barat langsung menyergap indra penciuman mereka, berpadu sempurna dengan wangi butter croissant yang sepertinya baru keluar dari oven. Kehangatan ruangan langsung menyelimuti tubuh mereka yang basah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline