Lihat ke Halaman Asli

Syahrial

TERVERIFIKASI

Guru Madya

Jejak Kasih Sang Guru

Diperbarui: 2 Desember 2024   21:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: id.pngtree.com

Mentari pagi mengintip malu-malu di balik awan kelabu yang menggantung di langit Jakarta. Bu Ratna memandang ke luar jendela ruang guru, menatap halaman sekolah yang masih sepi. Daun-daun kemuning bergoyang pelan ditiup angin, menjatuhkan beberapa tetesan embun pagi ke tanah. Dalam hatinya berkecamuk berbagai pikiran tentang tantangan yang akan dihadapinya hari ini.

Sudah lima belas tahun ia mengajar di SMP Nusantara, sekolah yang berdiri kokoh di tengah permukiman padat penduduk ini. Selama karirnya, ia telah menghadapi berbagai macam karakter siswa. Namun hari ini berbeda---hari pertamanya mengajar di kelas 9C, kelas yang terkenal paling "menantang" di sekolah. Bu Ratna menghela nafas panjang, mengingat cerita-cerita yang beredar tentang kelas itu.

"Bu Ratna yakin mau mengambil kelas 9C?" suara Pak Hendra, wakil kepala sekolah, membuyarkan lamunannya. Pria paruh baya berkacamata itu baru saja masuk ke ruang guru, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang nyata. "Sudah tiga guru mengundurkan diri dari kelas itu dalam satu semester. Anak-anaknya susah diatur. Saya khawatir Ibu akan mengalami hal yang sama."

Bu Ratna tersenyum tenang, matanya menyiratkan keyakinan yang dalam. Dalam benaknya terbayang wajah-wajah muda yang menunggu di kelas 9C---wajah-wajah yang mungkin menyimpan banyak cerita dan luka yang tak terucap. "Justru itu, Pak. Saya rasa mereka butuh pendekatan yang berbeda. Setiap anak punya kebaikan dalam dirinya, tugas kita hanya membantu mereka menemukannya."

Dengan langkah mantap, Bu Ratna memasuki kelas 9C. Suasana riuh langsung menyambutnya bagaikan pasar pagi yang sedang ramai. Aroma pengap bercampur dengan wangi kapur baru dan sisa-sisa sampah kertas berserakan di lantai. Beberapa siswa masih berlarian, yang lain sibuk mengobrol dengan suara keras, bahkan ada yang bermain lempar-lemparan kertas. Di sudut kelas, seorang siswi berjilbab pink duduk sendiri, matanya tertunduk seolah ingin menghilang dari keriuhan itu.

"Selamat pagi, anak-anak," sapa Bu Ratna dengan suara lembut namun tegas. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat beberapa siswa menoleh. Perlahan, kelas mulai tenang, meski beberapa masih berbisik-bisik, melemparkan pandangan menilai pada guru baru mereka.

Di sudut belakang kelas, Dani---siswa yang terkenal paling bandel---sengaja menjatuhkan bukunya dengan keras. Suara "BRAK!" memecah keheningan yang baru terbentuk. Tawa tertahan terdengar dari beberapa sudut. Dani tersenyum puas, dalam hatinya ia penasaran, apakah guru baru ini akan bereaksi seperti guru-guru sebelumnya---marah, membentak, atau bahkan keluar kelas dengan frustrasi.

Namun Bu Ratna mengejutkannya. Wanita berusia empat puluhan itu justru menghampiri Dani dengan senyum tulus di wajahnya. Ia membungkuk, membantu mengambil buku yang terjatuh. "Terima kasih, Dani. Kamu sudah membantu saya memastikan semua teman-teman sudah siap belajar."

Dani terdiam, matanya melebar tidak percaya. Selama ini, tak ada guru yang menanggapi kenakalannya dengan kelembutan seperti ini. Biasanya ia akan langsung mendapat bentakan atau hukuman. Untuk pertama kalinya, ia merasa kehilangan kata-kata.

Hari-hari pertama memang tidak mudah. Setiap pagi, Bu Ratna mempersiapkan diri dengan segelas teh hangat dan doa panjang. Ia harus menghadapi berbagai kenakalan: dari yang ringan seperti tidak mengerjakan PR, sampai yang berat seperti perkelahian antar siswa. Di rumah, suaminya sering mendapati Bu Ratna tengah menulis catatan tentang setiap siswanya---mencoba memahami latar belakang dan masalah mereka masing-masing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline