Pagi itu, seperti biasa, kelas X-3 kembali bersemangat menyambut pelajaran Bahasa Indonesia. Namun, hari itu berbeda. Ada yang tidak biasa dalam suasana kelas. Ibu Dinda, guru Bahasa Indonesia yang dikenal selalu ceria dan sabar, tampak sedikit berbeda. Ekspresinya lebih tegang dari biasanya, dan suara lembutnya terasa sedikit lebih keras ketika memberi penjelasan.
"Buka buku kalian, halaman lima puluh!" perintah Ibu Dinda dengan suara yang sedikit terdengar lelah.
Beberapa siswa saling memandang, menyadari perubahan yang mencolok pada Ibu Dinda. Ada yang melirik dengan khawatir, ada pula yang mulai berbisik di belakang. Seperti biasanya, kelas dipenuhi tawa riang, namun hari itu ada yang terasa hampa.
"Kenapa sih ibu guru kok cepet marah-marah?" bisik Siti kepada teman sebelahnya, sembari menatap Ibu Dinda dengan raut wajah bingung. Biasanya, Ibu Dinda sangat sabar menjelaskan materi, meski harus mengulanginya berkali-kali.
"Iya, tadi juga pas nanya, jawabannya kayak orang lagi kesal gitu," balas Andi pelan, dengan ekspresi yang sama. Mereka berdua tidak mengerti mengapa suasana menjadi begitu kaku.
Siti merasa tidak nyaman melihat sikap Ibu Dinda yang berbeda. Ada yang aneh, meski tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ibu Dinda, yang biasanya selalu penuh energi dan humor, kini tampak cemas. Tatapan matanya kosong, tidak seperti biasanya yang selalu berbinar penuh semangat. Siti merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap itu, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tugas atau pelajaran.
"Ibu, kok hari ini kelihatan beda?" pikir Siti dalam hati. Ia sudah cukup lama mengenal Ibu Dinda, bahkan sering berbincang di luar jam pelajaran. Ibu Dinda adalah sosok yang selalu bisa membuat suasana kelas lebih hidup. Namun, hari ini, semuanya terasa seperti diliputi kabut yang tebal.
Usai pelajaran, Ibu Dinda kembali duduk di meja guru dengan mata yang menatap kosong ke papan tulis. Di depannya, tumpukan berkas administrasi yang belum tersentuh, tugas-tugas yang harus dipersiapkan untuk minggu depan, serta laporan yang harus segera dikirimkan. Setiap hari, rutinitas ini seolah tak pernah berhenti. Pekerjaan rumah yang harus diurus, tugas-tugas yang belum selesai, dan perasaan tertekan karena tanggung jawab yang semakin menumpuk.
Hari itu, Ibu Dinda benar-benar merasa lelah. Sudah seminggu penuh ia harus menyelesaikan laporan kegiatan sekolah yang tak kunjung usai, belum lagi tugas rumah yang menanti untuk dibereskan. Mungkin, inilah saatnya ia merasa hampir jatuh.
Siti memperhatikan dari kejauhan. Ia memutuskan untuk tidak pergi seperti biasanya, tapi tetap duduk di belakang kelas. Ada yang mengganggu pikirannya, seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang belum jelas. Sesuatu yang mungkin bisa membantu Ibu Dinda.