Lihat ke Halaman Asli

Syahrial

TERVERIFIKASI

Guru Madya

Guru "Siluman"

Diperbarui: 19 November 2024   14:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: kumparan.com

Jarum jam di ruang tata usaha berdetak lambat, menunjukkan pukul dua siang. Suara detikannya bergema dalam keheningan ruangan ber-AC yang terasa mencekam. Anin memandangi layar komputer dengan tatapan nanar, jemarinya yang dingin mencengkeram mouse dengan gemetar. Data yang terpampang di hadapannya membuat dadanya sesak, seolah ada beban tak kasat mata yang menghimpit. Nama-nama asing bermunculan dalam daftar guru yang lolos seleksi PPPK, sementara rekan-rekan honorer yang telah mengabdi bertahun-tahun justru gagal.

Pikirannya melayang pada wajah-wajah familiar yang selama ini ditemuinya di sekolah lain dekat rumahnya- guru-guru honorer yang datang paling pagi dan pulang paling akhir, yang rela mengorbankan waktu demi memberikan pelajaran tambahan pada siswa, yang tetap tersenyum meski gajinya tak seberapa. Mereka yang telah mengabdikan hidupnya pada dunia pendidikan, kini tersisih oleh nama-nama yang bahkan tak pernah terdengar sebelumnya.

"Bagaimana bisa nama-nama ini lolos? Aku bahkan tidak pernah melihat mereka mengajar di sekolah mana pun, guru siluman," gumam Anin sambil mengusap peluh di dahinya. Tangannya yang lembab mengkhianati kegundahan hatinya, meski ruangan itu terasa dingin oleh hembusan AC.

Neti, rekan sesama staf TU yang duduk di sampingnya, menghela napas panjang. Kerutan di sudut matanya menyiratkan keresahan yang sama. "Kamu masih baru di sini, Nin. Ada banyak hal yang belum kamu tahu." Nada suaranya mengandung campuran resignasi dan simpati, seolah ia telah lama menyerah pada sistem yang bobrok ini.

Keheningan ruangan dipecahkan oleh derit pintu yang terbuka. Wandi, operator sekolah yang sudah bekerja selama lima tahun, masuk dengan wajah gelisah. Langkahnya yang biasanya mantap kini terlihat ragu-ragu. "Pak Taufik mencari data Dapodik yang baru," ucapnya pelan, suaranya nyaris berbisik.

Anin menatap Wandi dengan pandangan menyelidik. Ada sesuatu dalam gerak-gerik seniornya itu yang mengusik nuraninya. "Wan, aku perhatikan ada yang aneh dengan data guru di sistem. Ada nama-nama yang tidak pernah kulihat, tapi tercatat sebagai guru aktif." 

Wandi terdiam sejenak, matanya berkeliaran menghindari tatapan Anin seperti seekor tikus yang terjebak. Keringat tipis mulai membasahi keningnya. "Sudahlah, Nin. Tidak usah terlalu dipikirkan. Yang penting kita kerjakan saja apa yang diminta atasan." Ada getaran ketakutan dalam suaranya yang berusaha ia sembunyikan.

Di sudut hatinya, Anin bisa merasakan amarah mulai bergolak. Ia teringat pada Bu Siti, guru matematika senior yang sering memberinya secangkir kopi di pagi hari. "Tapi ini tidak benar, Wan! Bagaimana dengan nasib guru-guru honorer yang sudah mengabdi bertahun-tahun? Bu Hamsiah yang sudah mengajar matematika selama 15 tahun malah tidak lolos seleksi," suara Anin mulai bergetar, campuran antara amarah dan kepedihan.

"Ssst!" Neti memperingatkan ketika mendengar langkah kaki mendekat. Suara sepatu pantofel yang berketuk di lantai koridor membuat atmosfer ruangan semakin mencekam.

Pak Taufik, kepala sekolah mereka, masuk ke ruang TU dengan langkah tegap. Aromanya wangi parfum mahal menguar memenuhi ruangan, kontras dengan kesederhanaan ruang TU yang pengap. "Bagaimana dengan data yang saya minta?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline