Hari-hari ini, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan: memudarnya pengetahuan sejarah di kalangan generasi muda. Sebuah pernyataan dari Ila, cicit tokoh pergerakan nasional HOS Tjokroaminoto, dalam acara ramah tamah di TMPNU Jakarta baru-baru ini, menjadi alarm yang membangunkan kesadaran kita. Generasi Z dan Alpha, kata Ila, hanya mengenal para pahlawan dari nama-nama jalan, tanpa memahami jejak perjuangan dan nilai-nilai yang mereka wariskan.
Situasi ini tentu bukan tanpa konsekuensi. Ketika generasi muda kehilangan pemahaman akan sejarah bangsanya, yang terancam hilang bukan sekadar pengetahuan faktual, melainkan juga memori kolektif yang membentuk identitas bangsa. Padahal, memori kolektif inilah yang menjadi pengikat persatuan dan memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana bangsa ini terbentuk melalui perjuangan panjang para pendahulu.
Memudarnya pengetahuan sejarah di kalangan generasi muda bukanlah fenomena yang terjadi dalam ruang hampa. Di era digital ini, anak-anak muda hidup dalam realitas yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka adalah generasi yang tumbuh dengan internet, media sosial, dan arus informasi yang begitu deras. Preferensi mereka dalam menyerap informasi pun berbeda - lebih visual, interaktif, dan instan.
Namun, justru di sinilah tantangan dan peluangnya. Alih-alih menyalahkan teknologi atau mengeluhkan karakteristik generasi muda, kita perlu mengadaptasi cara penyampaian sejarah agar lebih sesuai dengan cara mereka belajar dan berkomunikasi. Ini bukan berarti mengkompromikan substansi, melainkan merangkul medium baru untuk menyampaikan nilai-nilai lama yang tetap relevan.
Pertama, kita perlu merevolusi pendekatan pendidikan sejarah di sekolah. Pembelajaran sejarah tidak bisa lagi sekadar mengandalkan hafalan nama, tanggal, dan peristiwa. Perlu ada integrasi teknologi dan metode pembelajaran yang lebih interaktif. Penggunaan virtual reality untuk "mengunjungi" lokasi-lokasi bersejarah, atau augmented reality untuk "menghidupkan" artefak sejarah, bisa menjadi terobosan yang menarik.
Kedua, konten sejarah perlu hadir di platform-platform yang dekat dengan generasi muda. Media sosial seperti TikTok, Instagram, atau YouTube bisa menjadi medan pertempuran baru dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Konten-konten kreatif yang mengemas sejarah dalam format yang menarik - seperti animasi pendek, infografis, atau storytelling digital - bisa menjadi jembatan penghubung antara masa lalu dan masa kini.
Ketiga, perlu ada kolaborasi antara berbagai pemangku kepentingan. Institusi pendidikan, content creator, keluarga pahlawan, dan pemerintah perlu bersinergi menciptakan ekosistem pembelajaran sejarah yang komprehensif. Para content creator muda yang memahami selera generasinya bisa diajak bermitra untuk menciptakan konten edukatif yang viral dan bermutu.
Keempat, program-program yang mempertemukan generasi muda dengan keluarga pahlawan perlu diperbanyak. Interaksi langsung semacam ini bisa memberikan dimensi personal dan emosional dalam pembelajaran sejarah. Cerita-cerita dari perspektif keluarga pahlawan bisa memberikan nuansa berbeda yang tidak didapat dari buku teks.
Di tengah arus globalisasi dan disrupsi digital, menjaga memori kolektif bangsa menjadi tantangan tersendiri. Namun, justru di sinilah kreativitas dan adaptabilitas kita diuji. Teknologi yang sering dituding sebagai biang keladi lunturnya nilai-nilai kebangsaan, bisa dimanfaatkan sebagai kendaraan untuk memperkuat identitas nasional.
Upaya menyelamatkan memori kolektif bangsa bukanlah tugas yang ringan atau singkat. Ini adalah proyek jangka panjang yang membutuhkan konsistensi dan kolaborasi dari berbagai pihak. Namun, jika kita berhasil mengemas sejarah dalam bentuk yang relevan dengan generasi digital, kita bukan hanya menyelamatkan pengetahuan tentang masa lalu, tetapi juga memperkuat fondasi bangsa untuk masa depan.