Perdebatan tentang pembangunan sekolah unggulan di Indonesia kembali mencuat setelah pernyataan Direktur Eksekutif Barisan Pengkaji Pendidikan, Ditta Puti Sarasvati, yang mempertanyakan prioritas kebijakan tersebut. Di tengah beragam tantangan pendidikan yang dihadapi bangsa ini, pertanyaannya sederhana namun menohok: haruskah kita fokus membangun sekolah-sekolah unggulan sementara masih banyak anak Indonesia yang belum mendapatkan akses pendidikan berkualitas?
Membangun sekolah unggulan memang terdengar menggiurkan. Siapa yang tidak ingin memiliki lebih banyak lembaga pendidikan berstandar tinggi yang mampu menghasilkan lulusan berkualitas? Sekolah-sekolah semacam ini sering dijadikan etalase keberhasilan pendidikan suatu daerah, bahkan negara. Namun, di balik gemerlap prestasi sekolah unggulan, tersembunyi realitas pahit ketimpangan pendidikan yang semakin menganga.
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau dan kondisi geografis yang menantang, masih bergulat dengan masalah pemerataan akses pendidikan. Di berbagai pelosok negeri, masih banyak anak yang harus berjalan berkilo-kilometer untuk mencapai sekolah terdekat. Bangunan sekolah yang rusak, kekurangan guru berkualitas, dan minimnya fasilitas pembelajaran masih menjadi pemandangan umum di banyak daerah. Dalam konteks ini, pembangunan sekolah unggulan bisa jadi malah memperparah kesenjangan yang ada.
Ketimpangan dalam akses pendidikan bermutu bukanlah masalah sederhana. Ini adalah masalah struktural yang berdampak pada mobilitas sosial dan prospek masa depan generasi muda Indonesia. Ketika sebagian kecil siswa menikmati fasilitas dan kualitas pendidikan terbaik di sekolah unggulan, jutaan siswa lainnya harus puas dengan standar pendidikan minimal. Situasi ini menciptakan lingkaran setan: anak-anak dari keluarga berkecukupan mendapat akses ke pendidikan terbaik, sementara anak-anak dari keluarga kurang mampu terjebak dalam siklus pendidikan berkualitas rendah.
Memang benar bahwa keberadaan sekolah unggulan bisa menjadi benchmark atau tolok ukur bagi pengembangan kualitas pendidikan. Sekolah-sekolah ini bisa menjadi model best practices yang bisa ditiru sekolah lain. Namun, pendekatan ini menjadi kurang efektif jika tidak dibarengi dengan strategi pemerataan yang sistematis. Alih-alih membangun beberapa sekolah unggulan baru, mungkin lebih bijak jika sumber daya yang ada digunakan untuk meningkatkan standar semua sekolah secara bertahap.
Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang paling sukses adalah yang mampu memberikan kualitas pendidikan yang baik secara merata. Finlandia, misalnya, terkenal dengan sistem pendidikannya yang egaliter namun berkualitas tinggi. Di sana, tidak ada konsep sekolah unggulan karena semua sekolah diharapkan memberikan standar pendidikan yang sama baiknya. Hasilnya? Finlandia secara konsisten berada di peringkat teratas dalam berbagai penilaian pendidikan internasional.
Yang Indonesia butuhkan saat ini adalah perubahan paradigma dalam memandang pembangunan pendidikan. Fokus utama seharusnya bukan pada menciptakan "pulau-pulau keunggulan" dalam bentuk sekolah unggulan, melainkan pada upaya sistematis untuk mengangkat kualitas seluruh sekolah. Ini mencakup perbaikan infrastruktur dasar, peningkatan kompetensi guru secara merata, pemerataan akses teknologi pembelajaran, dan penguatan sistem pendukung pendidikan di seluruh wilayah.
Tentu saja, perubahan semacam ini membutuhkan komitmen politik dan anggaran yang tidak sedikit. Namun, jika kita serius ingin membangun masa depan bangsa yang lebih cerah, inilah investasi yang harus dilakukan. Meratakan akses pendidikan bermutu bukan hanya masalah keadilan sosial, tetapi juga strategi pembangunan nasional yang cerdas. Dengan memberikan kesempatan yang setara kepada seluruh anak bangsa untuk mengenyam pendidikan berkualitas, kita membuka jalan bagi lahirnya generasi unggul dari berbagai lapisan masyarakat.
Pada akhirnya, pembangunan sekolah unggulan memang bukan hal yang salah. Namun, dalam konteks Indonesia saat ini, prioritas utama seharusnya adalah memastikan bahwa setiap anak, terlepas dari latar belakang sosial ekonomi atau lokasi geografisnya, mendapatkan akses ke pendidikan yang bermutu. Hanya dengan demikian, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 bisa benar-benar terwujud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H