Lihat ke Halaman Asli

Syahrial

TERVERIFIKASI

Guru Madya

Reformasi Pendidikan: Antara Harapan dan Kenyataan

Diperbarui: 8 Oktober 2024   15:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumen pribadi 

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dalam hal kebijakan yang berkaitan dengan persaingan akademik. Sistem ranking, ujian nasional (UN), konsep sekolah favorit, dan kebijakan tinggal kelas telah mengalami perubahan atau bahkan dihapuskan sama sekali. Langkah ini tentu memiliki tujuan mulia, yaitu mengurangi tekanan pada pelajar dan mengalihkan fokus pendidikan dari sekadar mengejar angka menuju penerapan ilmu yang lebih bermakna dalam kehidupan sehari-hari. Namun, seperti dua sisi mata uang, kebijakan ini juga membawa dampak yang perlu kita cermati dengan seksama.

Penghapusan sistem persaingan akademik tradisional memang dimaksudkan untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat dan kurang stres bagi para pelajar. Ide dasarnya adalah bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya tentang mengejar nilai tinggi atau peringkat terbaik, tetapi lebih pada pengembangan potensi individu dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan dalam konteks nyata. Dengan menghilangkan tekanan untuk selalu berada di puncak, diharapkan pelajar dapat lebih menikmati proses pembelajaran dan mengembangkan minat mereka secara alami.

Namun, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa persaingan, dalam batas yang wajar, memiliki peran penting dalam memotivasi individu untuk berkembang. Sistem ranking, misalnya, meski terkadang menciptakan tekanan, juga berfungsi sebagai cermin bagi pelajar untuk melihat posisi mereka relatif terhadap teman-teman mereka. Ini bisa menjadi dorongan untuk meningkatkan diri, bukan hanya dalam hal akademis, tetapi juga dalam mengembangkan keterampilan belajar yang efektif.

Ujian Nasional, meskipun sering dikritik karena dianggap terlalu menekankan pada hasil akhir, sebenarnya memiliki fungsi penting dalam memberikan standar nasional yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas pendidikan secara keseluruhan. Tanpa adanya tolok ukur yang seragam, akan sulit bagi pemerintah dan pemangku kepentingan pendidikan untuk menilai efektivitas sistem pendidikan dan mengidentifikasi area yang membutuhkan perbaikan.

Konsep sekolah favorit, meski memang berpotensi menciptakan kesenjangan, juga memiliki sisi positif dalam mendorong sekolah untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan mereka. Kompetisi antar sekolah, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi katalis untuk inovasi dan peningkatan standar pendidikan secara keseluruhan.

Kebijakan tinggal kelas, meskipun sering dianggap keras, sebenarnya memiliki tujuan untuk memastikan bahwa setiap pelajar memiliki dasar yang kuat sebelum melanjutkan ke jenjang berikutnya. Menghapus kebijakan ini tanpa alternatif yang memadai bisa berisiko menciptakan situasi di mana pelajar terus maju tanpa benar-benar menguasai materi dasar yang penting untuk pembelajaran selanjutnya.

Dengan dihapuskannya berbagai sistem persaingan ini, muncul kekhawatiran bahwa motivasi belajar siswa akan menurun secara signifikan. Tanpa adanya konsekuensi nyata atau target yang jelas, ada risiko bahwa sebagian pelajar akan menjadi terlena dan kurang serius dalam mengejar ilmu. Mereka mungkin menganggap enteng tugas-tugas sekolah, merasa tidak perlu belajar dengan giat untuk ujian, atau bahkan menjadi apatis terhadap proses pembelajaran secara keseluruhan.

Sistem zonasi, yang menggantikan konsep sekolah favorit, memang memiliki tujuan baik untuk pemerataan akses pendidikan. Namun, tanpa diimbangi dengan upaya peningkatan kualitas yang merata di seluruh sekolah, sistem ini berpotensi mengurangi motivasi siswa untuk berprestasi lebih tinggi. Jika mereka merasa bahwa usaha ekstra tidak akan memberi mereka keuntungan dalam memilih sekolah, beberapa siswa mungkin akan kehilangan dorongan untuk mengembangkan potensi mereka sepenuhnya.

Degradasi motivasi ini bukan hanya masalah jangka pendek, tetapi bisa berdampak serius pada kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan. Jika generasi muda kehilangan semangat untuk mengejar ilmu, bahkan dalam hal dasar seperti literasi dan numerasi, kita berisiko menghasilkan generasi yang kurang siap menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.

Namun, ini bukan berarti kita harus kembali ke sistem lama yang penuh tekanan. Yang dibutuhkan adalah pendekatan yang lebih seimbang, yang mampu memotivasi siswa tanpa menciptakan stres berlebihan. Beberapa langkah yang bisa dipertimbangkan antara lain:

1. Mengembangkan sistem evaluasi yang lebih holistik, yang tidak hanya fokus pada nilai akademis tetapi juga mempertimbangkan perkembangan karakter, kreativitas, dan keterampilan praktis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline