Tragedi yang menimpa seorang taruna Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) berinisial P (19) yang tewas diduga dianiaya oleh seniornya, merupakan bukti bahwa budaya kekerasan di lembaga pendidikan kedinasan masih menjadi polemik yang tak kunjung usai.
Meskipun pihak berwenang telah berupaya untuk memberantas praktik tersebut, namun kasus-kasus seperti ini seolah menjadi pengingat bahwa masih ada oknum mahasiswa senior yang mengedepankan kekerasan dalam menyelesaikan masalah.
Pertama, budaya senioritas yang kaku dan hierarkis di lembaga pendidikan kedinasan sering kali disalahartikan oleh sebagian mahasiswa senior sebagai legitimasi untuk menerapkan kekerasan kepada juniornya.
Mereka menganggap bahwa kekerasan merupakan bagian dari tradisi yang harus dipertahankan untuk menjaga disiplin dan menguji ketangguhan calon penegak hukum atau aparat negara.
Pandangan sempit ini tentu saja sangat berbahaya dan bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh lembaga pendidikan tersebut.
Fakta bahwa tindakan kekerasan masih terus terjadi mengindikasikan bahwa pemahaman yang keliru ini masih mengakar kuat di kalangan mahasiswa senior.
Mereka seolah-olah melupakan tujuan utama pendidikan kedinasan, yaitu mencetak aparat negara yang profesional dan berintegritas, bukan menciptakan lingkungan yang penuh intimidasi dan kekerasan.
Kedua, kurangnya pemahaman tentang pentingnya menghormati hak asasi manusia dan menghindari tindakan kekerasan dalam proses pendidikan dan pembinaan.
Seharusnya, lembaga pendidikan kedinasan menjadi contoh dalam menanamkan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan penghormatan terhadap hak-hak individu. Namun, praktik kekerasan yang masih terjadi justru mengindikasikan adanya kegagalan dalam mentransfer nilai-nilai tersebut kepada para mahasiswanya.