"Pendidikan bukanlah pengisian wadah, tetapi penyaluran obor kehidupan."
Saya sangat sepakat dengan opini Samsu Rizal Profesor dan Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh; Anggota Majelis Pendidikan Aceh yang disampaikan dalam tulisannya di kompas.id pada hari Senin 4 Maret 2024 dengan judul "Kurikulum Kompleks, Pendidikan Terlambat". Dalam tulisannya, Bapak Samsu mengkritisi kompleksitas kurikulum pendidikan saat ini yang justru membebani proses pembelajaran.
Sebagai seorang pendidik, saya melihat bahwa kurikulum yang terlalu padat dan rumit seringkali kontraproduktif bagi tujuan pendidikan itu sendiri. Guru harus bergulat dengan tuntutan kurikulum yang terus berubah tanpa persiapan memadai. Mereka dituntut menguasai materi baru dalam waktu singkat dan langsung mengajarkannya pada siswa. Akibatnya, baik guru maupun siswa sulit mencerna materi pelajaran secara mendalam. Pendidikan pun bergeser dari proses pemahaman menjadi kejar target kurikulum semata.
Ironisnya, kurikulum yang padat justru sering dianggap sebagai pencerminan mutu dan standar pendidikan yang tinggi. Padahal sesungguhnya, kurikulum ideal adalah yang memberi cukup ruang dan waktu bagi penguasaan materi secara mendalam. Daripada termakan wacana kurikulum 'berstandar internasional' yang padat, kita perlu kembali pada prinsip bahwa tujuan pendidikan adalah pemahaman, bukan kuantitas materi.
Terlebih di era digital saat ini, pengetahuan tidak lagi langka dan terbatas. Siswa dapat mengakses pengetahuan dari berbagai sumber secara luas, tidak hanya dari guru dan buku teks semata. Oleh karena itu pendidikan perlu diarahkan pada pembentukan kemampuan berpikir kritis, bukan menjejalkan materi sebanyak-banyaknya yang pada akhirnya terlupakan.
Sebagaimana Bapak Samsu sampaikan, saya setuju bahwa perubahan kurikulum ke depan semestinya bertujuan untuk menyederhanakan proses pembelajaran, bukan semakin mempersulitnya. Kurikulum yang baik seharusnya memberi keleluasaan bagi guru untuk benar-benar memahami materi, merancang pembelajaran secara matang, dan menyampaikannya kepada siswa secara efektif. Dengan begitu, guru dapat mengajar dengan penuh pemahaman dan antusiasme, sehingga siswa pun termotivasi untuk belajar.
Selain itu, guru juga memerlukan waktu untuk refleksi dan evaluasi agar dapat terus meningkatkan kualitas pembelajaran. Perubahan kurikulum yang terlalu cepat dan radikal sesungguhnya justru menghambat upaya peningkatan kualitas ini. Guru perlu diberi waktu adaptasi yang cukup saat terjadi perubahan kurikulum. Mereka juga perlu dilibatkan dalam perumusan kurikulum agar perubahan yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan.
Sayangnya, selama ini guru seringkali menjadi obyek perubahan kurikulum, bukan dilibatkan sebagai subjek penting dalam prosesnya. Akibatnya banyak kebijakan kurikulum yang terasa memaksakan kehendak tanpa mempertimbangkan kesiapan dan masukan guru sebagai ujung tombak pelaksanaannya. Kondisi ini tentu harus diubah demi menghasilkan kurikulum yang sesuai dengan kondisi riil dan kebutuhan guru serta siswa.
Lebih jauh, saya sependapat dengan Bapak Samsu bahwa tujuan utama pendidikan seharusnya adalah menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan bagi guru dan siswa. Kurikulum yang terlalu berat justru membuat sekolah seperti beban, bukan tempat belajar dan berkembang. Siswa sulit menikmati proses pendidikan jika disibukkan dengan tuntutan target kurikulum yang padat. Mereka perlu diberi ruang untuk mengeksplorasi minat dan bakat, bukan dipaksa menghafal materi demi ujian.