Lihat ke Halaman Asli

Syahrial

TERVERIFIKASI

Guru Madya

Masa Tenang yang Tak Tenang: Sebuah Realitas Demokrasi Indonesia

Diperbarui: 13 Februari 2024   00:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber foto: dokumen Pemkab Buleleng 

"Kegelisahan yang muncul mencerminkan kekurangan dan kelemahan sistem."

Masa tenang, periode jeda sebelum pemungutan suara, seharusnya menjadi momen refleksi bagi para pemilih. Di tengah hiruk pikuk kampanye, masa tenang hadir sebagai ruang untuk mencerna informasi dan memantapkan pilihan tanpa pengaruh eksternal. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa masa tenang sering kali diwarnai dengan kegelisahan, baik bagi penyelenggara, kontestan, maupun pemilih.

Akar Permasalahan

# Budaya Politik

Budaya politik yang belum matang menjadi salah satu faktor utama. Politik uang, hoaks, dan intimidasi masih menjadi senjata ampuh untuk meraih suara, meskipun risikonya tinggi. Celah regulasi yang longgar juga membuka peluang bagi pelanggaran aturan, seperti kampanye terselubung dan penyalahgunaan media sosial. Kapasitas dan sumber daya Bawaslu dan KPU yang terbatas untuk menjangkau seluruh wilayah Indonesia semakin memperparah situasi.

# Ketidakpercayaan Publik

Ketidakpercayaan publik terhadap penyelenggara dan kontestan pemilu juga menjadi faktor penting. Ketidakjelasan penegakan hukum dan potensi manipulasi hasil pemilu memicu keraguan dan kekhawatiran di tengah masyarakat. Hal ini dapat menurunkan partisipasi pemilih dan menggerus kepercayaan terhadap demokrasi.

Dampak yang Mengkhawatirkan

Masa tenang yang gelisah bukan hanya mengganggu proses demokrasi, tetapi juga dapat menimbulkan berbagai dampak negatif yang perlu diwaspadai. Berikut adalah beberapa contohnya:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline