"Perkataan bijak adalah investasi masa depan."
Pemilihan umum (Pemilu) 2024 akan segera digelar pada 14 Februari mendatang. Beragam upaya dilakukan para kandidat untuk menarik hati para pemilih. Sayangnya, beberapa cara yang ditempuh terasa kurang elegan apalagi kurang etis.
Hal ini tercermin dalam debat capres-cawapres beberapa waktu lalu. Publik semestinya mendapatkan informasi mengenai visi-misi dan program kerja para kandidat. Nyatanya, kita disuguhi pertarungan argumen yang kurang bermutu dan tak bisa diteladani.
Perilaku komunikasi semacam ini sudah jamak terjadi akhir-akhir ini. Dalam beberapa tulisan di Kompas, para pakar telah menyampaikan keprihatinan soal rendahnya kualitas komunikasi dalam kampanye Pemilu kali ini.
Intinya, komunikasi merupakan kebutuhan dasar manusia. Namun, proses komunikasi sangat kompleks dan dipengaruhi banyak faktor, di antaranya budaya, makna, subyektivitas, konteks, dan etika. Dalam berkomunikasi, kita perlu saling menghargai, bukan malah meremehkan apalagi menghina.
Selain itu, pesan yang sudah disebarkan tak bisa ditarik kembali. Di era digital seperti sekarang, pesan-pesan itu abadi tersimpan di dunia maya. Oleh karena itu, kita harus bijak dalam menggunakan media sosial.
Komunikasi persuasi pemilu seharusnya tak hanya mengejar efektivitas, tapi juga menjunjung etika dan martabat manusia. Marilah kita wujudkan Pemilu 2024 yang beradab dan penuh keteladanan. Ini tanggung jawab kita bersama.
Namun sayang, yang kita saksikan dalam kampanye pemilu kali ini justru sebaliknya. Para kandidat saling menjatuhkan lawan dan menyebarkan kebencian untuk meraih suara. Mereka lupa bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun tak bisa dibenarkan dalam sebuah pesta demokrasi.
Sebagai pemilih yang bijak, kita harus jeli memilah informasi dan tidak mudah terprovokasi ujaran kebencian di media sosial. Jangan terburu-buru mengambil kesimpulan sebelum menelusuri kebenaran sebuah informasi.