"Setiap tindakan bullying berasal dari ketidakseimbangan hati, biarkan cahaya keterampilan sosial menyinari jalannya pendidikan."
Seorang kawan guru bercerita bahwa di sekolahnya ada seorang guru yang menghukum siswanya karena mendapat nilai rendah. Guru tersebut menyuruh siswa tersebut untuk menulis ulang 30 soal pilihan ganda lengkap dengan opsi jawabannya sebanyak 15 kali. Tentu saja hal ini memicu kontroversi karena dianggap sudah berlebihan dan dapat dikategorikan sebagai bentuk pembullyan oleh guru terhadap siswanya.
Tindakan tersebut, meskipun tidak termanifestasi dalam bentuk konvensional seperti intimidasi fisik atau verbal, mampu memicu perasaan terhina dan merendahkan martabat siswa. Hal ini mencerminkan ciri perilaku bullying yang dapat memberikan dampak negatif terhadap kesejahteraan psikologis siswa yang terlibat.
Oleh karena itu, penanganan terhadap kesalahan siswa sebaiknya diarahkan pada pendekatan yang lebih proporsional, mendidik, dan mengedepankan prinsip keadilan serta kesetaraan. Dengan demikian, lingkungan pendidikan dapat menjadi tempat yang mendukung perkembangan positif tanpa meninggalkan dampak negatif yang dapat memengaruhi kehidupan siswa dalam jangka panjang.
Bullying di dunia pendidikan memang menjadi realitas yang tak dapat diabaikan. Keberadaannya mencuatkan keprihatinan, terutama ketika seorang guru menjadi pelakunya terhadap siswanya sendiri. Muncul pertanyaan mendalam mengenai penyebab perilaku ini, di mana perlu dipertimbangkan berbagai aspek yang mungkin menjadi pemicu. Salah satu pertimbangan penting adalah adanya kemungkinan gangguan kesehatan mental pada guru tersebut.
Dalam merespon kasus semacam ini, penting untuk tidak hanya menilai tindakan bullying itu sendiri, tetapi juga mendekati masalah dengan empati dan pemahaman. Memberikan perhatian terhadap kesejahteraan mental guru dan mencari solusi yang inklusif dapat menjadi langkah awal yang signifikan dalam mengatasi masalah ini. Pendidikan dan dukungan terhadap kesehatan mental guru dapat menjadi investasi jangka panjang untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman dan mendukung bagi semua pihak yang terlibat.
Gangguan Kepribadian Antisosial merupakan kondisi yang melibatkan kurangnya empati dan pemahaman terhadap konsekuensi dari tindakan. Bagi seorang guru dengan gangguan ini, perlakuan yang merendahkan siswanya mungkin dianggap sebagai tindakan yang sah, tanpa adanya rasa bersalah.
Keterlibatan dalam pola perilaku destruktif seperti ini dapat memberikan rasa kepuasan, tanpa memperhitungkan kerugian emosional yang dialami siswa. Penting untuk mencari bantuan dan dukungan kepada profesional kesehatan mental jika ada dugaan gangguan seperti ini pada seseorang, karena ini tidak hanya berdampak pada siswa, tetapi juga pada kesejahteraan pribadi individu yang bersangkutan.
Selain itu, Gangguan Kepribadian Narsistik juga dapat menjadi penyebab. Guru yang memiliki gangguan ini cenderung mementingkan diri sendiri, merasa superior, dan kurang peka terhadap perasaan siswanya. Mereka mungkin melihat siswa sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan pribadi mereka, bahkan jika itu berarti menggunakan kekuasaan dan kontrol yang tidak sehat.