Pengantar
Covid-19 yang terjadi belakangan ini memberikan banyak perubahan di tengah masyarakat. Terutama terkait dengan kebijakan-kebijakan yang ditetapkan pemerintah sebagai upaya memutus rantai penyebaran virus. Salah satu kebijakan yang diberlakukan adalah phsycal distancing dan Work From Home (WFH) di berbagai lembaga, tidak terkecuali lembaga pemerintah.
Hal ini tentu memberikan dampak yang cukup signifkan, lantaran pembelajaran yang biasanya dilakukan secara tata muka harus dilakukan di rumah masing-masing. Untungnya pesatnya perkembangan teknologi saat ini mampu enciptakan inovasi dalam menjawab persoalan zaman, sehingga pembelajaran jarak jauh dapat tetap dilakukan. Dengan menggunakan media internet, media sosial, dan beberapa platform tertentu yang menunjang kegiatan belajar mengajar di rumah. Namun, perkembangan teknologi ini juga menjadi boomerang tersendiri dalam dunia pendidikan, khususnya di Indonesia.
Dampak Media Sosial dan 'Pendidikan Gaya Bank'
Perkembangan teknologi saat ini layaknya dua belah mata pisau yang saling berseberangan bagi pendidikan. Disatu sisi perkembangan teknologi memberikan banyak manfaat dan kemudahan dalam mencari dan menyebarkan infomasi, memberikan inspirasi, hingga membantu guru dalam mengumpulkan tugas peserta didik tanpa mengenal tempat dan waktu sehingga dapat lebih fleksibel ketika pembelajaran dilakukan di rumah. Akan tetapi di sisi lain kemudahan ini melahirkan dehumanisasi dan menurunnya kesadaran kritis dalam pendidikan. Penyebabnya adalah teknologi itu sendiri, karena banyaknya media sosial yang berkembang di masyarakat.
Ditambah lagi kondisi pandemi yang membuat terhambatnya mobilitas manusia dan berkurangnya sarana sosial karena batasan yang diberlakukan membuat masyarakat menjadi terlalu bergantung pada media elektronik mereka masing-masing terutama smartphone. Smartphone seolah menjadi jantung dalam kehidupan individu yang tidak dapat dilepas dari genggaman sebagai akses dalam memberikan dan menerima informasi dari siapa saja yang terhubung dalam internet. Maka selain memberikan dampak positif dari penyebaran informasi, tidak dapat dipungkiri bahwa media sosial juga memberikan dampak negatif bagi pendidikan. Di mana peserta didik jadi tidak bersemangat dalam belajar dan membaca buku pelajaran serta mencari sumber belajar lainnya, sementara mereka lebih tertarik pada aplikasi yang bersifat hiburan dan mengakibatkan kecanduan hingga malas.
Melihat realitas yang terjadi di masa pandemi ini membuat pendidikan mengalami degradasi. Selain karena banyaknya penggunaan media sosial yang megalihkan fokus peserta didik, tapi juga karena terbatasnya kurikulum dalam menghadapi situasi darurat Covid-19 dan kurangnya kesiapan guru akan teknologi membuat pembelajaran dijalankan dengan seadanya.
Pembelajaran yang dilakukan menjadi kurang kondusif dan menjadi pembelajaran satu arah sehingga sulit untuk membagun dialog di dalamnya. Di mana guru menjadi subjek aktif dengan menerangkan dan memberi materi menggunakan platform, sedangkan perserta didik menjadi objek pasif yang mendengarkan dan menerima materi yang dikirim oleh guru. Guru memberikan pengetahuan yang harus dihafal dan dikuasai oleh peserta didik tanpa adanya kesempatan dan akses bertanya yang mengakibatkan menurunnya daya kitis pada peserta didik. Konsep inilah yang disebut Freire sebagai pendidikan 'Gaya Bank' yang terjadi di tengah pandemi karena keterbatasan interaksi, sehingga peserta didik hanya perlu menelan tanpa mengunyah setiap hal yang diberikan.
Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai "celengan" dan guru sebagai"penabung". Lebih parah lagi pada realitasnya, guru hanya berfokus pada 'bagaimana agar semua materi yang ada dapat tersampaikan dalam satu semester' tanpa peduli pada 'apakah peserta didik benar-benar memahami materi tersebut' dan pada perbedaan kemampuan anak dalam menangkap materi yang diberikan.
Sulitnya interaksi juga membuat peserta didik tidak mengenal guru lebih dekat sehingga guru menjadi sosok yang ditakuti dan disegani, pertanyaan dan kritik di dalam kelas bisa saja berakibat pada nilai sehingga melahirkan kebingungan pada peserta didik yang berakhir pada terbenamnya mereka dalam kebudayaan bisu.
Hal inilah yang diartikan Freire sebagai dehumanisasi dalam pendidikan, ketika individu mengalami dehumanisasi, dia tidak dapat berbicara akan kehidupannya. Akibatnya, individu tidak akan mampu untuk mentransformasikan realitas kehidupan mereka. Lebih buruknya lagi adalah jika peserta didik hanya mengerjakan ujian berdasarkan jawaban yang tertulis di internet tanpa mengetahui urgensi dari pembelajaran tersebut, karena tuntutan kewajiban megenai nilai yang perlu dicapai dan prestasi guna menunjang peserta didik agar dapat naik ke tingkat selanjutnya tanpa adanya mutu yang diperoleh dari pembelajaran tersebut. Maka tujuan pendidikan bukan lagi sebagai upaya memanusiakan manusia, tapi hanya sebagai pemenuhan pasar modal dan kebutuhan perusahaan saja.