Lihat ke Halaman Asli

Syahrani Abda Syakura

Pendidikan Sosiologi UNJ

Kurikulum Merdeka Belajar dalam Perspektif Neo-Marxist

Diperbarui: 23 Mei 2022   13:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendidikan secara sederhana dapat diartikan sebagai proses untuk memanusiakan manusia, baik dalam memperhalus budi, menambah pengetahuan, dan meningkatkan keterampilan bersosialisasi berdasarkan pertimbangan moral dan norma yang berlaku di masyarakat. Pendidikan sangat diperlukan dalam meningkatkan kesadaran generasi selanjutnya sebagai upaya membangun peradaban, sehingga muncullah pemikiran kritis dan inovatif hingga menghasilkan karya-karya yang dapat digunakan untuk memudahkan kehidupan manusia.

Beberapa tahun terakhir pandemi covid-19 menjadi penghalang dalam menjalankan pendidikan di Indonesia. Terdapat banyak perubahan dan inovasi terutama dalam penyempurnaan kurikulum. Selama masa pandemi ini Kemendikbud hendak menggencarkan program baru yang juga masuk dalam kurikulum disebut Merdeka Belajar. Terdapat beberapa perbedaan antara kurikulum ini dengan kurikulum sebelumnya. Salah satu dari program baru  Merdeka Belajar ini terutama di Perguruan Tinggi yaitu mahasiswa diberikan kesempatan untuk mempelajari sesuatu di luar program studi yang ditempuhnya. Hal ini bisa dilakukan melalui beberapa cara, seperti praktik kerja (magang), pertukaran mahasiswa, penelitian, proyek independen, wirausaha, menjadi asisten pengajar, juga Kuliah Kerja Nyata (KKN) tematik untuk membangun desa. Pihak universitas pun menyambut program ini dengan menyesuaikan diri khususnya kurikulum agar memudahkan para mahasiswa untuk melakukan magang.

Dalam kajian sosiologi kurikulum, kekuasaan menjadi salah satu pokok bahasan yang tidak bisa lepas dari perkembangan kurikulum. Beberapa sosiolog juga menemukan relasi antara kekuasaan dan pendidikan yang dapat dilihat berdasarkan kurikulum. Hal inilah yang ditekankan oleh para pemikir Neo-Marxist mengenai reproduksi ketimpangan sosial, capital culture, dan hegemoni ideologi.

Salah satu pemikir Neo-Marxist yang juga seorang filsuf dan sosiolog bernama Louis Althusser, menjelaskan posisi kurikulum dalam bukunya Ideology and Ideological State Apparatus (1971) dimana ia menyampaikan dua konsep penting mengenai aparatus; 1) Repressive State Apparatus (RSA),2) Ideological State Apparatus (ISA). Kedua ide ini memiliki fungsi yang sama dalam mengontrol masyarakat, perbedaannya ada pada bagaimana cara mereka mengontrol masyarakat tersebut. Tindakan represif dalam mengontrol, lebih kepada tindakan yang mengekang atau menindas hal ini akan sangat terlihat dan banyak ditentang melalui perlawanan-perlawan di masyarakat, berbeda dengan mengontrol masyarakat melalui ideologi yang lebih halus dan cenderung terjadi tanpa disadari oleh masyarakat tersebut bahkan berlangsung seperti suatu hal yang natural. Penanaman ideologi ini dapat dilakukan salah satunya dengan melalui pendidikan yang dalam hal ini adalah kurikulum.

Program kampus merdeka dalam kurikulum yang sudah mulai diterapkan  oleh pemerintah dalam perguruan tinggi, jika ditelaah melalui pemikiran Althusser hal ini bukan sebagai suatu yang netral tetapi dipengaruhi oleh basis ekonomi yang juga merupakan bagian dari Ideology State Apparatus dan ini berhubungan langsung pada bagaimana kelas dominan mereproduksi ketimpangan sosial dan budaya kapitalnya di tengah masyarakat. Relasinya adalah melalui program yang dijalankan, mahasiswa diberikan serangkaian ‘keterampilan’ yang berguna dalam proses produksi namun tetap tunduk pada berbagai aturan kapitalisme melalui berbagai aparatus di wilayah suprastruktur (Pandu Sujiwo : 2020).

Sebenarnya melalui program magang ini diharapkan tercetaknya lulusan kuliah yang bukan hanya dibekali pengetahuan secara teori saja, tapi juga memiliki pengalaman berupa keterampilan dalam dunia kerja. Namun tanpa disadari sistem magang ini justru melahirkan tenaga kerja murah. Alih-alih mencari pengalaman sebelum lulus, kampus seolah menyediakan tenaga kerja murah dan mahasiswa justru dieksploitasi karena tak jarang para pemagang tidak diberikan sesuai upah minimum bahkan gratis tanpa dibayar sepersenpun yang kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan licik sebagai celah menekan ongkos produksi (Haris Prabowo). Ditambah lagi selama pandemi covid-19 terdapat banyak pegawai yang di PHK oleh pihak perusahaan, maka program magang ini bisa menjadi sarana yang dimanfaatkan dalam mendapatkan tenaga kerja murah.

Praktik inilah yang kemudian dikatakan Michael Apple sebagai reproduksi ketimpangan sosial yang dilakukan kelompok dominan (penguasa) untuk mengontrol individu dan mengontrol makna dari ‘pengalaman’ yang dimiliki. Pendidikan yang seharusnya sebagai suatu yang dapat memanusiakan manusia malah dijadikan sebagai berkembangnya kultur kapital. Dimana seperti pada sudut pandang Bowles dan Gintis, pendidikan (kurikulum) secara tidak langsung mendidik siswa sebagai ‘pekerja yang baik’ untuk tunduk dalam aturan yang disebut dengan hegemoni kapital.

Kelompok dominan menempatkan sekolah (kurikulum) melalui perannya sebagai ‘mesin besar demokrasi’ yang mana mereka mengeklaim telah melahirkan berbagai unsur kebenaran dalam praktik kurikulum di sekolah. Melalui ini kemudian mereka menjalankan fungsi ekonomi, budaya dan mewujudkan aturan ideologis untuk kemudian dipertahankan dan ditingkatkan melalui satu set hubungan struktural. Dalam praktiknya di masyarakat hal ini ditandai dengan adanya regulasi yang justru melegitimasi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga magang dibawah Upah Minimum Kabupaten/Kota dan Upah Minimum Regional. Regulasi yang ada juga gagal untuk menjamin tenaga magang agar tidak dieksploitasi berlebihan oleh pihak perusahaan.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum sebagai pedoman utama dalam pendidikan seharusnya diciptakan untuk membangun pemikiran kritis dari para mahasiswa, hal ini justru disalahgunakan oleh pihak penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya dengan mengendalilkan individu melalui penanaman ideologi. Kelompok dominan juga menjadikan kurikulum sebagai kontestasi arena ekonomi untuk memperluas pasar dan memperloleh keuntungan yang secara tidak sadar dijalankan ditengah masyarakat melalui istilah ‘pengalaman magang’ dan ‘keterampilan’. Tidak sampai disitu kelompok dominan berusaha mempertahankan kekuasaannya melalui regulasi sebagai landasan hukum dan kemudian direproduksi kembali terus-menerus dimasyarakat hingga hal tersebut dirasa sebagai hal yang wajar, padahal terdapat hegemoni kapital di dalamnya.

Referensi

Buku

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline