Cagar budaya adalah salah satu pilar penting yang menggambarkan identitas sebuah bangsa. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, cagar budaya mencakup benda, bangunan, struktur, lokasi, dan kawasan yang memiliki nilai penting dalam sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan resmi. Indonesia, sebagai negara yang kaya akan warisan budaya, memiliki lebih dari 83.000 cagar budaya terdaftar, berdasarkan data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2021. Namun, tantangan dalam pelestarian cagar budaya semakin kompleks seiring berkembangnya zaman, terutama di tengah generasi muda yang kerap teralihkan oleh perkembangan teknologi dan globalisasi.
Generasi Z, atau yang sering disebut Gen Z, adalah kelompok yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an. Mereka tumbuh besar di era digital, dengan akses tak terbatas ke informasi melalui internet dan media sosial. Hal ini membentuk pola pikir dan gaya hidup mereka, termasuk cara mereka memandang warisan budaya. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center pada 2022, hanya sekitar 35% Gen Z di Indonesia yang mengaku pernah berkunjung ke situs cagar budaya dalam lima tahun terakhir. Data ini mengindikasikan rendahnya tingkat keterlibatan langsung generasi muda terhadap pelestarian warisan budaya.
Namun, potensi Gen Z dalam melestarikan cagar budaya tidak dapat diremehkan. Mereka dikenal sebagai generasi yang kreatif, melek teknologi, dan memiliki semangat kolaborasi yang tinggi. Dengan pendekatan yang tepat, Gen Z dapat menjadi ujung tombak pelestarian cagar budaya melalui cara-cara baru yang sesuai dengan karakteristik mereka. Pertanyaannya, sejauh mana kesadaran mereka terhadap pentingnya cagar budaya, dan bagaimana mereka dapat menjalankan peran serta tanggung jawabnya dalam menjaga aset berharga ini? Artikel ini akan mengulas lebih lanjut perspektif Gen Z terhadap cagar budaya, peran yang dapat mereka ambil, serta tanggung jawab yang melekat pada generasi muda dalam melestarikan warisan budaya bangsa.
Cagar Budaya: Identitas dan Warisan Bangsa
Cagar budaya bukan sekadar bangunan atau situs tua. Ia adalah simbol dari identitas, sejarah, dan jati diri sebuah bangsa. Setiap relief pada candi, setiap ukiran pada rumah adat, atau setiap ornamen pada alat musik tradisional memiliki cerita yang menghubungkan kita dengan masa lalu. Tanpa cagar budaya, kita kehilangan jejak penting yang menggambarkan bagaimana bangsa ini berkembang, beradaptasi, dan bertahan.
Indonesia memiliki kekayaan cagar budaya yang luar biasa. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2021 mencatat bahwa Indonesia memiliki lebih dari 83.000 cagar budaya, yang tersebar di seluruh provinsi. Candi Borobudur, misalnya, tidak hanya diakui sebagai warisan budaya nasional tetapi juga sebagai Warisan Dunia oleh UNESCO sejak 1991. Candi ini mencerminkan kejayaan Dinasti Syailendra serta keahlian seni dan arsitektur bangsa Indonesia pada abad ke-8. Tidak hanya itu, rumah adat seperti Tongkonan di Toraja atau Songket Palembang juga menjadi bukti kekayaan budaya yang tak ternilai.
Cagar budaya memegang peran penting dalam membentuk identitas bangsa. Ia adalah pengingat bagaimana nenek moyang kita berjuang, mencipta, dan beradaptasi dengan lingkungannya. Namun, menjaga relevansi cagar budaya di era modern bukanlah perkara mudah. Dalam survei yang dilakukan oleh UNESCO Jakarta pada 2022, hanya 20% masyarakat Indonesia, terutama yang berusia di bawah 30 tahun, yang mengaku memahami pentingnya pelestarian cagar budaya secara mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa generasi muda, termasuk Gen Z, masih kurang terpapar secara langsung dengan nilai-nilai yang terkandung dalam cagar budaya.
Namun, cagar budaya bukanlah entitas yang statis. Justru, ia dapat menjadi sumber inspirasi yang relevan bagi generasi digital seperti Gen Z. Misalnya, relief pada Candi Prambanan dapat diadaptasi menjadi motif desain grafis modern, sementara seni wayang dapat dijadikan tema untuk animasi atau konten video kreatif. Pendekatan semacam ini tidak hanya memperkenalkan cagar budaya kepada Gen Z, tetapi juga membuat mereka merasa lebih terhubung secara emosional dan intelektual dengan warisan tersebut.
Di era digital ini, Gen Z, yang dikenal dengan keakraban mereka terhadap teknologi, sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi penjaga cagar budaya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh McKinsey & Company pada 2022, Gen Z di Indonesia menghabiskan rata-rata 8 jam sehari di dunia maya, sebagian besar di media sosial seperti Instagram, TikTok, dan YouTube. Ini adalah peluang besar untuk menjadikan cagar budaya sebagai konten yang menarik dan relevan.
Beberapa inisiatif telah berhasil menggunakan media sosial untuk mengangkat kembali relevansi cagar budaya. Sebagai contoh, akun media sosial seperti "Indonesia Hidden Heritage" di Instagram berhasil menggabungkan fotografi berkualitas tinggi dengan narasi sejarah yang menarik untuk memperkenalkan situs-situs budaya yang kurang dikenal. Selain itu, penggunaan teknologi seperti augmented reality (AR) telah mulai diterapkan untuk menciptakan pengalaman interaktif dalam mengeksplorasi cagar budaya. Aplikasi seperti Borobudur Virtual Tour memungkinkan pengunjung untuk memahami keindahan candi tanpa harus mengunjungi lokasi secara langsung, sehingga relevansinya tetap terjaga di kalangan generasi muda yang terbiasa dengan kenyamanan teknologi.
Pendekatan seperti ini menunjukkan bahwa meskipun cagar budaya mungkin tampak "kuno," ia dapat dihidupkan kembali melalui cara-cara inovatif yang sesuai dengan karakteristik Gen Z. Dengan demikian, bukan hanya cagar budaya yang tetap relevan, tetapi juga generasi muda yang merasa memiliki hubungan yang lebih dalam dengan akar budaya mereka sendiri.