Lihat ke Halaman Asli

syahmardi yacob

Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

World Class University: Masihkah Revelan di Era Transformasi Pendidikan?

Diperbarui: 17 November 2024   19:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam beberapa dekade terakhir, konsep World Class University (WCU) telah menjadi dambaan banyak perguruan tinggi di Indonesia. Label ini sering kali dianggap sebagai simbol keunggulan dan legitimasi institusi pendidikan tinggi di kancah global, menempatkan universitas-universitas tersebut sejajar dengan institusi terkemuka dunia. Bagi banyak pemangku kebijakan, WCU dianggap sebagai tolok ukur kemajuan dan daya saing bangsa di era globalisasi, sehingga mendorong berbagai kebijakan strategis untuk mengejar posisi dalam peringkat internasional. Namun, seiring dengan perubahan lanskap pendidikan nasional—diwarnai oleh tantangan lokal, tuntutan penguatan riset terapan, dan kebutuhan menghasilkan lulusan yang relevan dengan perkembangan teknologi—konsep ini mulai menghadapi kritik. Terlebih lagi, di era Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (DikTi Sain Tek) Kabinet Merah Putih, fokus kebijakan tampaknya mengalami pergeseran yang signifikan. Hal ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah WCU masih relevan sebagai tujuan utama perguruan tinggi di Indonesia, ataukah kita memerlukan paradigma baru yang lebih kontekstual dan inklusif?

Paradigma WCU dan Realitas Indonesia

Konsep World Class University (WCU) berakar pada penilaian berbasis peringkat global, seperti QS World University Rankings dan THE World University Rankings. Indikator-indikator utama dalam peringkat ini meliputi jumlah sitasi penelitian, proporsi mahasiswa internasional, rasio dosen terhadap mahasiswa, hingga reputasi akademik di tingkat global. Sebagai contoh, QS World University Rankings 2023 menempatkan kriteria academic reputation dan faculty/student ratio sebagai bobot terbesar dalam penilaian mereka, masing-masing sebesar 40% dan 20%. Hal ini menciptakan standar yang cenderung menguntungkan perguruan tinggi di negara maju yang memiliki ekosistem riset mapan, sumber daya melimpah, dan daya tarik internasional yang kuat.

Namun, realitas perguruan tinggi di Indonesia menunjukkan kesenjangan signifikan terhadap parameter ini. Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), anggaran pendidikan tinggi di Indonesia pada tahun 2022 hanya sekitar 0,23% dari PDB, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara maju seperti Amerika Serikat (2,7%) atau Korea Selatan (4,3%). Distribusi sumber daya juga menjadi tantangan besar, di mana sebagian besar alokasi anggaran dan fasilitas riset terkonsentrasi pada beberapa universitas negeri terkemuka, seperti Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Perguruan tinggi di daerah masih menghadapi kesenjangan dalam akses pendanaan, fasilitas, dan tenaga pengajar berkualitas.

Selain itu, ekosistem riset di Indonesia masih jauh tertinggal. Laporan Scimago Journal and Country Rank 2023 menunjukkan bahwa kontribusi Indonesia dalam publikasi ilmiah global hanya 0,9%, dengan banyak penelitian berfokus pada ranah lokal yang jarang mendapatkan pengakuan di jurnal bereputasi tinggi. Rasio jumlah penelitian per dosen di Indonesia juga relatif rendah, di mana pada tahun 2021, rata-rata dosen Indonesia hanya menghasilkan 0,02 artikel ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal internasional per tahun.

Di era Menteri Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi (DikTi Sain Tek) Kabinet Merah Putih, pendekatan kebijakan tampaknya mengalami pergeseran. Fokus tidak lagi sepenuhnya pada mengejar status WCU, melainkan pada penguatan inovasi teknologi dan pendidikan vokasi. Menteri telah menekankan pentingnya relevansi pendidikan tinggi dengan kebutuhan lokal dan nasional. Dalam sebuah wawancara, ia menyatakan bahwa, "Perguruan tinggi harus menjadi penggerak utama transformasi industri dan penopang pembangunan berkelanjutan, bukan sekadar mengejar peringkat global." (Kompas, 2023).

Strategi ini mencerminkan kebutuhan mendesak untuk menghasilkan lulusan yang mampu menjawab tantangan lokal, seperti pengentasan ketimpangan ekonomi dan penguatan daya saing industri dalam negeri. Misalnya, program Kampus Merdeka yang diinisiasi pemerintah bertujuan memberikan fleksibilitas bagi mahasiswa untuk terjun langsung ke dunia industri, mempersiapkan mereka menghadapi revolusi industri 4.0 dan 5.0. Pendekatan ini, meskipun tidak sejalan dengan parameter WCU, menciptakan dampak langsung bagi masyarakat dan pembangunan nasional.

Dengan demikian, meskipun WCU tetap relevan sebagai alat pengakuan internasional, strategi pendidikan tinggi Indonesia di era Kabinet Merah Putih tampaknya lebih difokuskan pada relevansi lokal dan transformasi kebutuhan industri, sebuah pendekatan yang lebih realistis dan kontekstual untuk kondisi Indonesia saat ini.

Tantangan dan Kebutuhan Kontekstual

Penting untuk dicatat bahwa mengejar status World Class University (WCU) sering kali menuntut pengorbanan besar. Perguruan tinggi yang terlalu fokus pada indikator global, seperti jumlah publikasi internasional, sitasi, dan kolaborasi global, cenderung mengabaikan tantangan domestik. Fokus berlebihan pada pencapaian indikator ini dapat mengurangi perhatian terhadap kebutuhan lokal yang mendesak, seperti relevansi penelitian terhadap permasalahan bangsa, penyelesaian isu-isu sosial, dan pemerataan akses pendidikan.

Dalam konteks Indonesia, keberhasilan pendidikan tinggi tidak hanya diukur dari reputasi internasional, tetapi juga dari kontribusinya terhadap pengembangan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi. Laporan dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2022 menunjukkan bahwa tingkat partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia masih rendah, hanya sekitar 31% dari populasi usia perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pemerataan akses pendidikan tinggi masih menjadi tantangan signifikan, terutama di daerah-daerah terpencil. Jika perguruan tinggi terlalu fokus pada peringkat global, risiko terabaikannya upaya peningkatan aksesibilitas menjadi semakin besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline