Lihat ke Halaman Asli

syahmardi yacob

Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Swasembada Pangan Vs Swasembada Energi: Kerja Keras Lima Tahun Permerintahan Prabowo

Diperbarui: 8 November 2024   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pengantar

Swasembada pangan dan energi merupakan dua isu strategis yang menentukan kedaulatan dan stabilitas ekonomi Indonesia. Ketergantungan pada impor, baik untuk pangan maupun energi, menciptakan kerentanan ekonomi dalam menghadapi dinamika global yang penuh ketidakpastian. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, produksi beras nasional diperkirakan mencapai sekitar 30,34 juta ton, mendekati kebutuhan nasional, tetapi dengan margin surplus yang sangat tipis. Selain itu, ketergantungan pada impor pangan lain seperti gandum dan gula masih sangat tinggi; data BPS menunjukkan bahwa sepanjang Januari-September 2024, impor gula mencapai 3,66 juta ton senilai US$2,15 miliar. Ketergantungan ini memperlihatkan bahwa masih ada tantangan besar dalam mewujudkan ketahanan pangan secara mandiri, terutama dalam kondisi pasar global yang bergejolak.

Di sisi energi, ketergantungan pada bahan bakar fosil impor juga sangat signifikan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa pada semester pertama tahun 2024, impor minyak mencapai US$18,01 miliar, yang berdampak besar pada defisit transaksi berjalan Indonesia. Ketergantungan ini tidak hanya membebani anggaran nasional tetapi juga menciptakan risiko inflasi yang tinggi akibat fluktuasi harga energi global. Berdasarkan potensi energi terbarukan Indonesia, seperti tenaga surya yang mencapai 207,8 gigawatt (GW) dan tenaga angin sebesar 60,6 GW, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengurangi ketergantungan ini. Namun, data Kementerian ESDM pada 2024 menunjukkan bahwa kapasitas terpasang energi terbarukan baru mencapai sekitar 66,6% dari target tahunan, mencerminkan masih rendahnya pemanfaatan energi alternatif ini.

Pemerintahan Presiden Prabowo menghadapi tantangan besar dalam lima tahun ke depan untuk membangun kemandirian di kedua sektor ini. Pencapaian swasembada pangan tidak hanya akan meningkatkan ketahanan ekonomi, tetapi juga mengurangi ketergantungan Indonesia pada fluktuasi harga internasional dan risiko inflasi pangan. Di sisi lain, swasembada energi akan menurunkan beban anggaran akibat impor minyak dan bahan bakar lainnya serta mengurangi defisit transaksi berjalan. Dengan latar belakang ini, artikel ini akan membahas secara mendalam pentingnya swasembada pangan dan energi, tantangan yang dihadapi, serta rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk mencapai kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.

Tantangan dalam Mewujudkan Swasembada Energi

Indonesia masih sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil, khususnya minyak mentah, yang menjadi tantangan besar dalam mewujudkan swasembada energi. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada semester pertama tahun 2024, nilai impor minyak mentah mencapai US$18,01 miliar, mengalami kenaikan sekitar 8,22% dibanding periode yang sama pada tahun 2023. Kenaikan impor ini menunjukkan besarnya ketergantungan pada energi fosil, yang membuat Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak global. Kondisi ini berdampak langsung pada kenaikan harga barang-barang di dalam negeri, meningkatkan inflasi, serta memperburuk defisit neraca perdagangan.

Selain itu, defisit neraca berjalan Indonesia sebagian besar disebabkan oleh tingginya ketergantungan pada energi impor. Laporan Bank Indonesia mencatat bahwa defisit transaksi berjalan pada kuartal kedua 2024 tercatat sebesar 1,5% dari PDB, dengan komponen energi menjadi salah satu penyumbang terbesar. Hal ini menimbulkan risiko ekonomi yang signifikan, mengingat perubahan harga minyak global dapat berdampak besar pada stabilitas harga dalam negeri.

Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, dan biomassa. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, potensi tenaga surya di Indonesia mencapai sekitar 207,8 gigawatt (GW), sementara potensi tenaga angin diperkirakan sebesar 60,6 GW. Pada semester pertama tahun 2024, kapasitas energi baru terbarukan bertambah sebesar 217,73 MW, mencapai 66,6% dari target tahunan 326,91 MW. Namun, realisasi ini masih sangat rendah dibandingkan total kebutuhan energi nasional. Hingga saat ini, energi terbarukan hanya menyumbang sekitar 12% terhadap total pasokan energi nasional, jauh di bawah target yang telah ditetapkan pemerintah.

Untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemerintah perlu mempercepat transisi ke energi terbarukan melalui berbagai langkah strategis. Di antaranya adalah penggalakan investasi di sektor energi terbarukan melalui insentif fiskal, peraturan yang mendukung, serta kolaborasi dengan sektor swasta dan internasional. Selain itu, perbaikan infrastruktur energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya dan angin, serta pengembangan jaringan distribusi yang efisien juga menjadi prioritas. Pemerintah dapat mempertimbangkan skema pendanaan inovatif, seperti pembiayaan hijau atau green financing, untuk menarik lebih banyak investor dalam pembangunan proyek energi terbarukan.

Dengan mempercepat transisi ke energi terbarukan, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil impor tetapi juga meningkatkan ketahanan energi nasional. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang, mengurangi risiko inflasi energi, serta memposisikan Indonesia sebagai pemimpin dalam pengembangan energi terbarukan di kawasan Asia Tenggara.

Konflik Sumber Daya antara Pangan dan Energi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline