Lihat ke Halaman Asli

syahmardi yacob

Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Social Engineering, Antara Paranoid atau Menolong Sesama?

Diperbarui: 7 November 2024   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengantar

Social engineering adalah bentuk manipulasi psikologis yang bertujuan untuk memanfaatkan kelemahan manusia demi keuntungan pihak tertentu. Teknik ini menjadi semakin populer di kalangan pelaku kejahatan karena secara efektif dapat menembus lapisan keamanan paling kuat sekalipun, dengan memanfaatkan kelemahan terbesar dalam sistem apa pun: faktor manusia. 

Menurut laporan dari Security Intelligence, 98% dari insiden keamanan siber melibatkan teknik social engineering, yang berarti hampir seluruh serangan digital mengandalkan manipulasi psikologis untuk mengelabui pengguna agar mengungkapkan informasi sensitif atau melakukan tindakan yang merugikan (Security Intelligence, 2022).

Teknik ini mencakup serangkaian trik yang memanipulasi emosi dan logika korban, sehingga mereka tanpa sadar melakukan tindakan tertentu yang dimanfaatkan oleh pelaku. Social engineering menggunakan alat psikologis seperti rasa percaya, empati, dan kebutuhan untuk merasa aman, yang disusun dalam bentuk interaksi yang tampak wajar atau tidak mencurigakan. 

Menurut Verizon Data Breach Investigations Report (2023), 60% serangan social engineering melibatkan pretexting, atau penciptaan cerita latar yang membuat korban merasa harus membantu pelaku, sebuah metode yang efektif untuk membentuk respons emosional yang memudahkan manipulasi.

Seiring dengan perkembangan teknologi, social engineering semakin kompleks dan meresap dalam kehidupan kita sehari-hari, baik secara langsung maupun melalui dunia digital. 

Dunia digital telah membuka peluang baru bagi pelaku untuk menggunakan social engineering dalam skala yang lebih luas melalui media sosial, email, dan platform komunikasi lainnya. Data dari Cybersecurity and Infrastructure Security Agency (CISA) menunjukkan bahwa 93% serangan siber yang berhasil bermula dari manipulasi sosial, terutama dalam bentuk phishing atau penyebaran hoax di media sosial (CISA, 2023). 

Hal ini mengindikasikan bahwa ancaman manipulasi sosial tidak hanya terjadi secara fisik, tetapi juga dalam interaksi digital kita sehari-hari, yang sering kali membuat korban merasa lebih aman dan cenderung tidak curiga.

Mengingat prevalensi social engineering dalam insiden keamanan ini, penting bagi kita untuk memahami teknik dan pola yang digunakan agar kita dapat mengidentifikasi situasi manipulatif sebelum terjerat dalam skenario tersebut. Dengan pengetahuan mendalam tentang cara kerja social engineering, kita dapat melindungi diri dari dampak negatif yang ditimbulkan oleh manipulasi ini, sehingga dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih aman, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di dunia digital.

 Analisis Kasus: Teknik Manipulatif yang Tampak Sepele

Pengalaman pribadi dari teman saya dalam menghadapi kasus di ATM dan bandara memperlihatkan bagaimana social engineering bekerja dalam bentuk yang sederhana namun efektif. Di ATM, pelaku memanfaatkan empati istri teman saya dengan alasan kebutuhan mendesak---suatu strategi yang dikenal sebagai "pretexting," yaitu menciptakan cerita untuk membuat korban merasa harus membantu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline