Lihat ke Halaman Asli

syahmardi yacob

Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Hilirisasi Industri: Harapan dan Tantangan bagi Ekonomi Era Presiden Prabowo

Diperbarui: 28 Oktober 2024   17:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia dikenal sebagai salah satu negara penghasil bahan mentah terbesar di dunia, mulai dari nikel, bauksit, hingga kelapa sawit. Namun, ketergantungan pada ekspor bahan mentah ini membuat ekonomi rentan terhadap fluktuasi harga komoditas global dan nilai tambah yang diterima pun relatif kecil. Untuk mengatasi ketergantungan ini, hilirisasi industri diharapkan menjadi strategi utama dalam mencapai kemandirian ekonomi dan memajukan daya saing nasional. Melalui hilirisasi, bahan mentah diolah di dalam negeri hingga menjadi produk setengah jadi atau jadi, yang tidak hanya meningkatkan nilai ekonomi tetapi juga membuka peluang besar untuk pengembangan teknologi dan inovasi di tanah air.

Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, hilirisasi industri diharapkan menjadi mesin penggerak transformasi ekonomi Indonesia, mengantarkan negara ini menuju perekonomian berbasis nilai tambah yang lebih berkelanjutan. Kebijakan ini menawarkan banyak manfaat potensial: peningkatan pendapatan nasional, penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, serta pengurangan kesenjangan pembangunan antardaerah. Lebih jauh lagi, hilirisasi bisa menjadi langkah penting dalam memposisikan Indonesia sebagai pemain kunci di pasar global untuk produk-produk olahan strategis.

Namun, untuk mewujudkan visi ini, tantangan besar perlu dihadapi dengan serius. Mulai dari keterbatasan infrastruktur dan teknologi, birokrasi yang menghambat iklim investasi, hingga potensi dampak sosial dan lingkungan yang perlu diantisipasi. Implementasi hilirisasi memerlukan strategi yang terencana dengan baik, didukung oleh kebijakan yang stabil, komitmen investasi yang kuat, serta kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat.

Artikel ini akan menguraikan secara mendalam harapan dan tantangan hilirisasi di era Presiden Prabowo, dengan data serta pandangan dari sumber-sumber terpercaya untuk memberikan perspektif komprehensif mengenai langkah strategis yang perlu diambil dalam mencapai tujuan ekonomi berkelanjutan dan mandiri bagi Indonesia.

Potensi Ekonomi dari Hilirisasi: Peningkatan Nilai Tambah dan PDB

Indonesia adalah salah satu negara dengan cadangan sumber daya alam terbesar di dunia, termasuk komoditas strategis seperti nikel, tembaga, bauksit, dan kelapa sawit. Menurut laporan McKinsey Global Institute, hilirisasi dapat meningkatkan PDB Indonesia sebesar $200 hingga $300 miliar pada 2030, tergantung pada investasi di sektor pengolahan dan pengembangan infrastruktur industri .

Sektor tambang nikel, misalnya, memiliki potensi besar dalam rantai pasokan kendaraan listrik global, karena nikel merupakan bahan baku utama dalam baterai EV (electric vehicles). Data dari International Energy Agency (IEA) memproyeksikan bahwa permintaan global terhadap nikel akan melonjak tiga kali lipat pada tahun 2040 seiring meningkatnya produksi kendaraan listrik. Indonesia, dengan cadangan nikel terbesar di dunia, memiliki kesempatan menguasai sekitar 30-40% dari pasar global jika mampu mengembangkan fasilitas pengolahan dan produksi di dalam negeri .

Selain itu, laporan dari Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa hilirisasi nikel telah menghasilkan nilai ekspor produk olahan mencapai USD 20,9 miliar pada 2022, melonjak signifikan dari sekitar USD 1,1 miliar pada 2014. Angka ini menyoroti dampak positif hilirisasi terhadap peningkatan nilai tambah ekspor nikel dan pendapatan negara secara keseluruhan .

Tantangan Infrastruktur dan Teknologi dalam Hilirisasi

Meskipun memiliki potensi besar, implementasi hilirisasi di Indonesia menghadapi tantangan signifikan dalam aspek infrastruktur dan teknologi. Menurut laporan Global Infrastructure Outlook (GIO), Indonesia memerlukan tambahan investasi infrastruktur sekitar USD 1,6 triliun hingga tahun 2040 untuk mendukung hilirisasi, khususnya dalam pembangunan jaringan transportasi, pelabuhan, dan energi. Infrastruktur yang terbatas, terutama di daerah-daerah yang kaya sumber daya namun terpencil, menambah biaya logistik dan operasional sehingga mengurangi efisiensi produksi dan daya saing produk olahan di pasar global.

Selain infrastruktur, teknologi pengolahan yang diperlukan dalam hilirisasi juga masih sangat tergantung pada impor. Teknologi smelter untuk nikel, misalnya, membutuhkan proses seperti rotary kiln-electric furnace (RKEF) yang sangat mahal dan hanya dikuasai oleh segelintir negara produsen. Ketergantungan pada teknologi asing ini tidak hanya menambah beban biaya, tetapi juga menimbulkan risiko ketergantungan jangka panjang. Kementerian Riset dan Teknologi menyarankan peningkatan investasi pada riset dan pengembangan lokal, terutama melalui kolaborasi antara universitas, lembaga riset, dan industri, untuk mengembangkan teknologi pengolahan yang mandiri dan ramah lingkungan .

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline