Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Gus Baha, Ulama Nusantara Kontemporer

Diperbarui: 4 Oktober 2024   16:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Figur KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha) sebagai ulama-intelektual di Indonesia kontemporer, semakin mengukuhkan wajah Islam Indonesia yang ramah dan moderat. Ulama yang memiliki genealogi intelektual sampai kepada Syekh Nawawi Banten ini, merupakan murni produk pesantren di Jawa, namun memiliki wawasan keislaman global. Gus Baha berhasil membangun kesadaran tentang pentingnya Islam yang moderat yang secara kritis, menolak wacana "Arabisasi" Islam yang justru belakangan menjadi tren di tanah air. Gaya pakaiannya yang khas Nusantara--dengan hem putih dan peci hitam-- memberikan warna tersendiri bagi kalangan masyarakat muslim di Indonesia. Keahliannya dalam penguasaan turats pesantren, ditambah dengan jaringannya dengan berbagai kampus semakin menambah kualitas intelektualnya semakin diperhitungkan. Gus Baha, merupakan figur ulama-intelektual penjaga tradisi pesantren, sekaligus membuktikan kepada publik, bahwa ilmu pesantren yang oleh sementara kalangan di cap "tradisional" dan kehilangan relevansinya dengan pengetahuan modern, ternyata justru sebaliknya. Ilmu pesantren yang digali dari pengetahuan klasik ulama-ulama abad pertengahan, tetap menemukan relevansinya dalam konteks kehidupan modern. Itulah sebabnya, kampus seperti Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, tetap menganggap penting untuk mendiskusikan wacana-wacana ilmiah modern dengan tradisi keilmuan pesantren. Untuk alasan itu, UII kerap menggelar berbagai diskusi wacana keagamaan kontemporer dengan Gus Baha sebagai narasumber utamanya.  

Wajah Islam Indonesia yang ramah dan moderat, sejatinya tidak bisa dilepaskan dari figur ulama-intelektual yang lahir dari tradisi pesantren sejak awal negara ini berdiri. Paling tidak, pesantren memberikan kontribusi besar sebagai model pendidikan "indigenous" yang lahir dari rahim pribumi pada saat pemerintah kolonialisme Belanda gencar melakukan pembaratan terhadap model pendidikan di Indonesia. Ditengah cengkraman kolonialisme dan imperialisme Eropa yang menawarkan "liberalisasi" dan "modernisasi" pendidikan, pesantren tampil dengan model kearifan lokal, mengajak masyarakat melalui semangat literasi sosial-keagamaan, untuk  tetap dapat menikmati pendidikan yang layak dengan biaya murah, terjangkau, bahkan tanpa melewati prosedur yang berbelit-belit. Tokoh kunci dalam transmisi intelektual keagamaan dipesantren adalah Syekh Nawawi Banten. Melalui ulama asal Tanara ini, sebaran kitab kuning dan tradisi vernakularisasi (baca: syarah) yang membahasalokalkan kitab-kitab berbahasa Arab yang ditulis ulama-ulama Timur Tengah membanjiri pesantren di Indonesia. Menariknya, Syekh Nawawi berupaya dengan sadar melakukan perubahan sosial dengan cara "pembebasan kognitif" (cognitive liberation) dengan memanfaatkan jaringan intelektual pesantren melalui murid-muridnya yang juga tokoh-tokoh pesantren di Nusantara. Tanpa harus mengangkat senjata melalui perlawanan fisik terhadap pemerintah kolonial, Syekh Nawawi justru menjadi "transmitter" intelektual bagi kalangan ulama pesantren yang dididiknya di Mekah.

Dalam suatu perhelatan akademik, ulama kenamaan Prof. Quraish Shihab menyebut Gus Baha sebagai penerus Syekh Nawawi Banten dalam hal transmisi intelektual-keagamaan di Indonesia yang dulu sempat mandek, akibat maraknya model gerakan Islam transnasional yang cenderung mengabaikan nilai-nilai kearifan lokal. Paling tidak, Gus Baha merupakan figur ulama-intelektual yang independen, dimiliki oleh seluruh umat Islam di Indonesia tanpa harus terikat oleh batas-batas ormas keagamaan yang ekslusif. Bagi saya, Gus Baha adalah figur ulama inklusif yang mengajak seluruh umat Islam di Indonesia mempunyai wawasan moderat dalam sikap keberagamaannya, tanpa terikat oleh simbolisasi kelompok atau bendera apapun. Di tengah memanasnya suhu politik di negeri ini, figur Gus Baha menjadi sangat penting dalam menjaga keseimbangan suhu politik yang kerap memanfaatkan agama untuk tujuan-tujuan sempit kontestasi. Terlepas dari karakteristik budaya Jawa yang melekat pada ulama asal Narukan, Rembang ini, Gus Baha tetap menawarkan model keberagamaan yang santai dan dapat dinikmati oleh semua kalangan, tanpa tercerabut dari nilai otentisitasnya dari ajaran-ajaran Islam yang dibawa dan berasal dari Timur Tengah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline