Salah satu murid Snouck Hurgronje, G.W.J. Drewes dalam sebuah artikel menyatakan, bahwa Islam menjadi agama mayoritas bagi kurang lebih 60 juta penduduknya---pada waktu itu---dengan daya tampung luar biasa dan kemampuan yang mengagumkan dalam hal menyesuaikan ide-ide yang baru diperoleh dengan pola lama dasar pemikiran mereka, tetapi tidak pernah memperlihatkan ledakan-ledakan kreatif sedikitpun.
Dalam soal agama, orang-orang Indonesia selalu menjadi pengikut yang baik; mereka hampir tidak pernah memegang pimpinan, baik di negerinya sendiri atau dalam kancah dunia Islam yang lebih luas.
Pernyataan ini memberikan kesimpulan, bahwa masyarakat Indonesia sangat akomodatif terhadap ide-ide apapun yang berasal dari luar, bahkan dalam banyak hal, akulturasi dan asimilasi budaya kerap terjadi dengan tanpa meninggalkan akar tradisi lokalnya sama sekali, tetapi memperlihatkan bentuk resepsi budaya yang diserap dari beragam nilai sehingga membentuk kebudayaan "indigenous", dimana Islam sebagai agama yang dibawa dari luar penduduk asli Indonesia, mampu berasimilasi dengan beragam tradisi lokal.
Islam di Indonesia terbentuk dalam rangkaian sejarah panjang proses Islamisasi yang telah dimulai sejak abad ke-13, juga melalui kegiatan perdagangan dan peran guru sufi yang telah "terasimilasi" sebelumnya melalui persinggahan mereka di wilayah-wilayah yang dilewatinya. Perjalanan para pedagang Arab, Gujarat, dan Cina jelas melewati berbagai wilayah sebelum akhirnya sampai ke Indonesia, dimana ide-ide lokal telah juga meresap bahkan membentuk watak Islam yang kemudian diperkenalkan kepada penduduk Indonesia.
Pembentukan pertama masyarakat Muslim Indonesia, jelas melalui kontak perdagangan, sekalipun bahwa para sufi pengembara beperan besar dalam mengkorvensi penduduk lokal kedalam Islam.
Ide-ide keagamaan yang dibawa para guru sufi sebagai penyebar Islam pertama, jelas moderat, dimana doktrin-doktrin Islam yang diperkenalkan kepada penduduk mudah diterima dan hampir tak terjadi konflik apapun dengan nilai, tradisi, atau kepercayaan masyarakat yang telah ada sebelumnya.
Hampir dipastikan, para sufi pengembara merupakan pengikut mazhab Syafi'i yang moderat dalam pemikiran keagamaan: Penganut Asy'ariyah-Maturidiyah yang secara teologis, mensintesakan dua kecenderungan yang ekstrem diantara kebebasan rasionalitas dan juga kepasrahan buta terhadap takdir.
Dalam ide-ide tasawuf, para sufi pengembara yang melakukan Islamisasi di Indonesia, kemungkinan mengambil ide sufisme-intelektual al-Ghazali yang juga sangat moderat: kemampuannya dalam mendamaikan kecenderungan fikih-sentris yang terlampau ketat dengan etika dan filsafat.
Al-Ghazali memang memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perkembangan aktivisme Islam dengan kemampuannya memoderasi berbagai kutub ekstrim dalam pemikiran. Perkembangan pemikiran keislaman pasca Al-Ghazali juga menunjukkan realitas moderatisme dan inilah sesungguhnya yang telah ada dalam ide-ide para sufi pengembara yang kemudian mengislamisasi penduduk Nusantara.
Indonesia pra-Islam, banyak disebut dalam berbagai penelitian etnografi dengan menyinggung tradisi "animis" di Asia Tenggara yang memperlihatkan dengan sangat jelas konsistensi tertentu akan keyakinan keagamaan yang dianut.
Segi umum yang paling mencolok dari dari sistem kepercayaan ini adalah keterlibatan yang terus menerus orang yang telah meninggal dunia dalam urusan-urusan mereka yang masih hidup. Seakan terjadi kesesuaian dimana praktik keagamaan dalam tradisi masyarakat animis di Indonesia yang sarat dengan berbagai upacara pemujaan untuk orang yang sudah meninggal dengan para ideologi para sufi pengembara yang menawarkan Islam dalam bentuk mistik yang kurang lebih memiliki seperangkat ide yang sama dengan realitas kultur lokal. Unsur-unsur sufisme memang banyak ditemukan diseluruh dunia Muslim, tetapi akan tampak sangat jelas fenomena ini ketika melihat Islam di India dan Asia Tenggara.