Hari raya yang dimaksud dalam tulisan ini tentu saja Idul Fitri, satu momen keagamaan terbesar di seluruh dunia yang dirayakan oleh hampir sepertiga penduduk dunia.
Secara historis, mungkin akan kita dapatkan catatan-catatan penting tentang hari perayaan (yaum al-'id) yang hampir keseluruhannya memberikan gambaran suasana pesta, tak ubahnya wajah tradisi Muslim ketika menggelar acara pernikahan.
Makanan berlimpah, dimana-mana tampak wajah yang begitu bahagia, penuh tawa, melepaskan semua beban yang dulu pernah ada. Hanya di momen Idul Fitri inilah segala kenangan manis dan pahit terkadang melintas dalam pikiran, ketika banyak diantara kita yang mudik atau pulang ke kampung halaman.
Namun, di tahun 1441 H ini dipastikan tak ada perayaan apapun di hari raya, tak kerumunan di lapangan, tak ada jabat tangan dan silaturahmi, tak ada kehangatan dari setiap orang yang menyapa dan memaksa mencicipi makanan di rumahnya. Intinya, kegembiraan umat Muslim dipastikan "terenggut" oleh kenyataan wabah yang malah semakin parah, bercampur aduk antara mitos dan realitas.
Sebagai orang awam, saya baru merasakan dan melihat betapa mirisnya realitas pandemik ini. Pernah saya bertemu pekerja ojol yang selepas Isya menghampiri saya di tengah santai duduk di beranda suatu musola.
"Maaf, saya mau tanya alamat, kalau blok c sebelah mana ya?" tanya bapak ojol yang tampak kelelahan dengan barang yang masih menumpuk di sela tempat duduknya. Salah seorang yang sedang berbincang dengan saya menunjukkan arah alamat yang dimaksud.
Setelah berucap terima kasih, bapak ojol balik bertanya, "di sini aman ya pak? Dari tadi saya lihat kayanya rame dan gak terganggu dengan corona".
Seseorang yang ditanya hanya melempar senyum dan menjawab singkat, "alhamdulillah, semoga disini aman-aman saja". Sambil bersiap-siap melanjutkan perjalanan, bapak ojol menumpahkan keluhannya tentang hidup yang serba sulit di era pendemik.
Selain orderan menurun tajam, banyak pengalaman yang tidak mengenakkan terjadi. Seperti harus menyemprot barang kirimannya dengan cairan disinfektan yang di gantung di pagar rumah, sedangkan barangnya harus diikatkan pada tali, kemudian dikerek keatas, mirip orang sedang menimba air dari dalam sumur. "Sepanjang saya mengirim barang dan saya bertanya kepada penduduk setempat, semua aman-aman saja, terus yang sakit siapa? Yang kena corona itu dimana?"
Kita tinggalkan cerita bapak ojol yang kesusahan dan kebingungan, tak ubahnya dengan beberapa warga di sini juga masih ada yang bingung soal PSBB yang tidak efektif, di mana pemandangan hampir seluruh ruas jalan di sore hari justru macet dan kerumunan orang di pinggir jalan dan pasar-pasar lebih banyak dari pada kerumunan orang di masjid-masjid untuk beribadah. Padahal, sejauh ini telah ada fatwa dari MUI, sebuah organisasi afiliasi negara yang semi "otoritatif" memfatwakan soal bagaimana beribadah di masa pandemik.
Persoalannya, seberapa banyak masyarakat Muslim memahami fatwa ini, atau jangan-jangan lebih banyak yang memandang fatwa MUI sebatas "corong politik" yang tidak begitu penting dan mereka lebih manut sama kiai kampung yang sangat menguasai karya-karya klasik, bahkan saking menguasainya dia kadang lupa bahwa laju sosial telah berubah dan penggunaan teknologi semakin merambah.