Perspektif kebanyakan orang terhadap munculnya fenomena kerajaan di Indonesia tentu saja berangkat dari prasangka "merendahkan" atau bahkan negatif, dimana kemunculan "empire" kuno ini jelas mengada-ada atau perbuatan "orang gila" yang daya khayalnya jauh melampaui kita yang hidup ditengah arus modernitas. Kita tentu saja sulit menerima kerajaan yang mengusung kembali suatu dinasti politik ditengah jebakan modernitas yang selama ini mengungkung pemikiran dan kebiasaan kita.
Padahal, negeri kita sebelum ini adalah kerajaan dengan raja-raja besar yang memiliki otoritas dan secara "legitimated" diakui bahkan dihormati oleh masyarakatnya. Para raja jelas mereka yang setia mempertahankan tradisi, sebagai warisan sejarah sekaligus filsafat kehidupan yang sedemikian melekat menjadi "nilai" yang dipedomani masyarakat.
Persoalannya, apakah sejauh ini masih ada kerajaan yang erat memegang tradisi? Atau para rajanya memiliki otoritas yang sedemikian dibanggakan dan dihormati?
Saya beranggapan bahwa fenomena munculnya kerajaan-kerajaan belakangan ini, bukan sekadar upaya sedikit orang yang ingin mengembalikan "otoritas" dan "tradisi", namun lebih jauh justru mencoba mengangkat kesadaran masyarakat yang sejauh ini melupakan bahkan jauh meninggalkan warisan otoritas yang dulu pernah sedemikian dipandang sebagai suatu "kebenaran" dan disisi lain, banyak tradisi yang dulu begitu mengakar justru tercerabut dari nilai-nilai kehidupan masyarakat masa kini.
Akibat modernitas yang mendewakan nalar dan realitas ilmiah, kitapun semakin jauh dari nilai-nilai religiusitas yang selama berabad-abad menjadi ciri yang paling kuat dalam sejarah masyarakat Nusantara.
Justru saya menilai, bahwa para raja-raja baru yang muncul dengan segala "otoritas" yang dimilikinya tidak sedang bermain-main dengan mitologi, tetapi justru berupaya "mendemitologisasi" modernitas yang selama berabad-abad dianut oleh masyarakat.
Alam modern tentu saja telah banyak menjauhkan kita dari tradisi dan nilai-nilai sosial-religius, merubahnya kedalam bentuk simbolisme sempit bersifat materialistik dan ukuran-ukuran rasionalisme buta, mengukur segala sesuatu berdasarkan realitas empirisme bahkan pragmatisme. Kita tak perlu lagi mementingkan "nilai", namun bagaimana kebutuhan hidup kita terpenuhi bahkan segala keinginan-keinginan materialistik kita terwujudkan secara nyata.
Otoritas kita adalah dunia material yang justru seringkali memunculkan fenomena simbolik sekalipun kadang tak masuk akal. Kita bahkan tak akan peduli lagi dengan urusan orang lain, sebab yang menjadi ukuran adalah aspek individualisme kita yang menjadi ciri khas masyarakat modern. Itulah sebabnya, agama-pun hanya sebatas alat justifikasi moral bukan dianggap sebagai pedoman hidup dimana nilai-nilainya meresap bersama sejarah yang bergerak bersama kehidupan kita.
Modernitas, seolah mengeluarkan kita dari sejarah, sehingga wajar jika persoalan-persoalan sepele lalu tiba-tiba menjadi besar dan kontroversial. Karena gerak kita diluar sejarah, maka yang tampak terjadi adalah cara pandang kita terhadap sumber-sumber kebenaran cenderung dogmatis, kaku, ideologis, bahkan subjektif.
Kebenaran seolah lepas dari gerak sejarah dan tradisi dianggap oleh kita sesuatu yang asing, berasal dari masa silam, mitos, tak masuk akal, dan kita senantiasa mengambil jarak yang sangat jauh dengan masa silam.
Padahal---menurut Gadamer---"tradisi selalu merupakan bagian dari kita, sebuah model atau eksemplar, suatu pengakuan diri kita sendiri yang penilaian historis kita nanti hampir tidak dapat melihatnya sebagai macam pengetahuan, melainkan sebagai sebuah ikatan yang paling tulus dengan tradisi". Kemunculan fenomena kerajaan yang tak diterima, atau dianggap remeh oleh kita, karena kita memang terlampau mengambil jarak yang jauh dengan sejarah dan tradisi.