Pernah muncul dalam sebuah narasi yang disuarakan kelompok Muslim tradisional, bahwa Islam Indonesia bukanlah Islam Arab, tetapi Islam yang "indigenous" berasal dari perpaduan budaya lokal masyarakat asli yang berkelindan, menyerap norma dan nilai, serta tradisi masyarakat lokal sehingga membentuk suatu agama khas, yaitu Islam Nusantara.
Istilah "Nusantara" yang disematkan kepada "Islam" tentu saja problematik, karena penolakan dari beberapa pihak yang menganggap "agama baru" atau minimal "sempalan" dari Islam itu sendiri.
Saya tentu tak akan membahas istilah problematik ini, sekalipun istilah apapun, toh tetap bahwa Islam Indonesia memiliki ciri khas, warna tertentu, tradisi dan kearifan lokal, yang mungkin berbeda atau tak ditemukan di berbagai wilayah lain di dunia Muslim manapun.
Itulah sebabnya, seorang antropolog Amerika, Robert Redfield, menyarankan agar membaca Islam melalui dua sisi tradisi, yang disebutnya sebagai "great tradition" yang berasal dari pembacaan atas sumber-sumber literatur yang ditulis tentang Islam dan "little tradition" yang dibaca melalui kebiasaan, tradisi, budaya parsial yang berbeda-beda dalam setiap masyarakat Muslim.
Membaca masyarakat Muslim Indonesia tentu saja tak dapat dilepaskan dari kedua pendekatan ini, baik "tradisi besar" maupun "tradisi kecil" yang keduanya saling terkait secara historis dalam rentang waktu yang sedemikian panjang.
Sebagaimana diketahui, proses Islamisasi di Indonesia berjalan dalam ruang resepsi dan asimilasi kultur: Arab, Persia, India, dan Cina yang kemudian membentuk peradaban lokal masyarakat Muslim Indonesia.
Jadi, narasi bahwa "Islam Indonesia bukanlah Islam Arab" tentu saja tak seluruhnya benar, karena justru Islam masuk ke kepulauan Nusantara ditengarai dibawa oleh para saudagar Arab---bahkan diantaranya juga oleh orang India dan Cina.
Tradisi-tradisi yang diadopsi dari sumber asli Islam, seperti Arab, juga kental dalam masyarakat Muslim Nusantara, sebagai contoh yang paling populer tetapi dianggap "bidah", adalah praktik kebaktian pembacaan maulid dengan berdiri (maulid bi al-qiyam).
Indonesianis asal Belanda, Nico Kaptein, pernah menulis artikel yang menarik berjudul "The Berdiri Mawlid Issue Among Indonesian Muslims in Period From Circa 1875 to 1930".
Ia berpandangan bahwa kebangkitan Islam di Timur Tengah merupakan imbas langsung atas menguatnya arus modernisme Islam di wilayah yang sama yang mempertanyakan segala praktik keagamaan kuno sebagai tidak berasal dari ajaran Islam dan tidak sesuai dengan ajaran para salaf as-shalih (the pious ancestors).
Tak terkecuali di Indonesia, arus modernisme ini tentu saja memperkuat peran ulama tradisional untuk tetap mempertahankan praktik-praktik ritual Islam yang dianggap (juga) sebagai bagian dari meneruskan ajaran para salaf as-shalih, sebagaimana juga tradisi-tradisi sejenis hidup dan dipraktikkan di wilayah Hijaz.