Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Problematika Menghijrahkan Ibu Kota

Diperbarui: 28 Agustus 2019   12:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kawasan inti pusat pemerintahan ibu kota negara. (Sumber: Kementerian PUPR)

"Dalam konteks ini, hijrahnya ibu kota berarti "melepaskan diri" dari segala yang mengikat sebelumnya, baik aturan perundang-undangan, nilai-nilai budaya masyarakat, keterikatan dengan kultur, sehingga memang memerlukan waktu yang cukup lama untuk dibicarakan, didiskusikan, dan disepakati bersama." 

Soal perpindahan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan saat ini tidak lagi sebatas wacana, sebab teori-teori yang mendukung hijrahnya ibu kota semakin memantapkan ke bentuk langkah yang lebih konkret. 

Sekalipun masih tampak problematik, pemerintah sepertinya tak terpengaruh dan tetap ingin menghijrahkan ibu kota, dari suatu tempat ke tempat yang lain.

Saya sengaja menggunakan kata serapan dari bahasa Arab, "hijrah" yang telah divernakularisasikan ke dalam bahasa lokal, karena makna hijrah ini bagi saya memiliki cakupan yang luas, tidak saja perpindahan secara fisik namun juga spiritual bahkan ideologis. 

Hal inilah yang pada akhirnya menjadi ruang problematik yang tak pernah kering, sebab hijrahnya ibu kota tak selalu dimaknai secara fisik, namun dapat melampaui batas-batas "yang fisik" tersebut.

Memang, suatu kebijakan dalam bentuk apapun yang pada akhirnya digulirkan penguasa, tidak serta merta memenuhi seluruh keinginan masyarakat. 

Ada saja sebagian yang menolak, mengkritisi, mempertanyakan, bahkan menganggap kebijakan itu bersifat otoriter dimana mau tidak mau, suka tidak suka, ya masyarakat secara penuh harus menerimanya. 

Efek yang nanti akan terjadi setelah suatu kebijakan digulirkan adalah hal lain, yang dalam perjalanannya mungkin akan muncul kebijakan-kebijakan baru yang bersifat politis, guna meredam gejolak sosial yang mungkin terjadi. 

Dalam ranah komunikasi politik, suatu kebijakan tentu saja tidak selalu lahir "dari atas" yang pada akhirnya cenderung bersifat elitis. Kebijakan yang berasal "dari bawah" jelas lebih memenuhi keseimbangan model komunikasi dua arah: antara pemerintah dan rakyat dan antara elit dan penguasanya.

Saya sendiri mungkin tidak terlalu berkepentingan soal jadi atau tidaknya ibu kota hijrah ke tempat lain, sebab saya tidak tinggal atau bekerja di wilayah ibu kota. Namun, banyak kolega dan keluarga yang kebetulan secara ekonomi mendapatkan jaminan penuh dari ibu kota yang saat ini masih berlokasi di Jakarta. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline