Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Mengenang Mbah Moen dalam Tradisionalisme Politik, Otoritas, dan Asketisme

Diperbarui: 6 Agustus 2019   11:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di kediaman Mbah Moen, Sarang, Rembang (Dokumentasi pribadi)

Mendengar nama KH Maimun Zubair (Mbah Moen) telah berpulang pada hari ini di Mekah, seolah menyisakan banyak cerita yang bukan saja soal kepribadian beliau yang mengagumkan atau genealogi intelektualitasnya yang diakui para ulama tanah air, lebih dari itu, saya teringat petuah terakhirnya ketika sowan ke Ndalem beliau di Pesantren Mathla'ul Anwar, Sarang, Rembang, Jawa Timur. 

"Saniki, wong Islam iku tambah akeh, buktine mesjid iku ben taun nambah terus", begitu ketika beliau membuka cerita di hadapan puluhan santri yang silaturahmi pasca Idul Fitri 1440 H. 

Pesan yang selalu disampaikan kepada para tamunya adalah soal kebangsaan, kerukunan, sebagai suatu tradisi paling purba dalam sejarah masyarakat Nusantara.

Ketika saya berkunjung ke rumahnya beberapa hari setelah Idul Fitri 2019 lalu, beberapa kelompok orang secara bergelombang datang silih berganti seolah kedatangan mereka ini tak pernah ada habisnya. 

Mereka tidak saja datang dari sekitaran Rembang atau pulau Jawa saja, hampir dari seluruh sudut paling terpencil (min kulli fajjin 'amiq) dari Nusantara, seperti Jambi, Lampung, Sulawesi, dan daerah-daerah lainnya selalu saja datang baik secara kelompok atau perorangan. 

Karena membludaknya jumlah tamu, pihak pesantren kemudian mengatur jadwal sowan ke Mbah Moen, ada yang setelah waktu Subuh dan Dzuhur dan ada yang setelah Isya, sekitar pukul 9 malam. 

Namun demikian, seluruh tamu akan dijamu secara baik oleh pihak pengurus pesantren dan Mbah Moen tetap bersemangat menemui mereka dan menuturkan petuah-petuah berharganya.

Dalam umur beliau yang hampir satu abad, raut muka yang sumringah dan terlihat masih gagah, menjadi pesona tersendiri bagi siapapun yang melihatnya. 

Pribadinya yang kharismatis karena selain sebagai ulama sepuh dan salah satu tokoh paling berpengaruh dalam ormas Islam terbesar di Indonesia, juga sebagai tokoh panutan masyarakat dengan sebutan "Mbah Yai", menambah pesona mistisnya semakin meningkat. 

Dan yang sangat mengagumkan tentu saja kepribadiannya yang sederhana, apa adanya, jujur, bersahaja, merupakan bagian integral dari seorang ulama asketik, mengikuti genealogi tradisi ulama-ulama luhur sebelumnya. 

Saya justru semakin memahami, bahwa di sinilah letak ketinggian predikat keulamaan seseorang: jujur, sederhana, tegas, dan asketis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline