Salah satu ulama Tatar Pasundan yang kerap mendominasi dalam merespon perkembangan wacana dan gerakan Islam reformis di abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh adalah Haji Ahmad Sanusi atau lebih dikenal dengan "Ajengan Genteng".
Syekh Ahmad Sanusi---penyematan gelar "syekh" karena keluasannya dalam ilmu agama Islam---menjadi diantara sedikit ulama Pasundan yang paling produktif dalam menulis beragam disiplin keilmuan Islam, dari mulai soal tauhid, fikih, akhlak, tasawuf, bahkan hingga tafsir Alquran.
Tak kurang dari seratus karyanya telah ditulis---sebagian hanya berbentuk risalah pendek---bahkan beberapa diantaranya menjadi kitab-kitab rujukan yang dipelajari di beberapa pesantren di Jawa Barat.
Syekh Ahmad Sanusi (1889-1950) adalah putra seorang tokoh pesantren di Cantayan, Abdurrahim bin Yasin. Seperti kebanyakan ulama Nusantara lainnya, Ahmad Sanusi mendapatkan didikan pengetahuan suci dari ayahnya langsung dan untuk memperteguh otoritas keilmuannya, ia kemudian berangkat haji ke Mekah. Selama kurang lebih 11 tahun berada di Mekah (1909-1915), ia tentu saja banyak bertemu dengan ulama-ulama lainnya yang berasal dari Nusantara.
Menariknya, Syekh Sanusi sepertinya tidak tertarik untuk belajar kepada Syakh Ahmad Khatib Minangkabau (1860-1916), padahal ulama Nusantara ini begitu dikenal bahkan seringkali diminta fatwanya dalam urusan-urusan agama dan politik oleh masyarakat Muslim di Hindia Belanda waktu itu.
Tidak menutup kemungkinan, bahwa sosok Syekh Ahmad Khatib dianggap "kontroversial" karena beberapa kali berpolemik dengan kelompok tarekat di Nusantara, bahkan secara terbuka "menyerang" praktik-praktik keagamaan yang dianggapnya menyimpang dari ajaran agama, membuat Syekh Sanusi kurang cocok dengan Syekh Ahmad Khatib.
Bahkan, ada yang menganggap bahwa Ahmad Khatib adalah pelopor pembaharuan (reformis) Islam atau sekurang-kurangnya, ia adalah contoh generasi paling awal dalam hal ide gerakan reformisme Islam di Mekah di awal abad ke dua puluh (lihat, Deliar Noer, Gerakan Modernisme Islam di Indonesia: 1992).
Selain sebagai penulis produktif, Syekh Sanusi terdepan sebagai ahli debat ulung sekaligus pejuang kemerdekaan yang ditakuti pemerintah kolonial. Seringkali, misalnya, ia berpolemik dengan para penghulu yang diangkat oleh pemerintah dan faksi reformis dari kalangan Persatuan Islam (Persis). Beberapa kali ia menunjukkan rivalitasnya dengan elit agama dari pakauman, membuat dirinya dianggap pemerintah sebagai pembuat onar dan ancaman bagi stabilitas politik.
Oleh karena itu, pada 1927, ia diasingkan pemerintah ke Tanah Tinggi di Batavia dengan tuduhan mengganggu "rust en orde". Namun demikian, selama pengasingan dirinya tetap menjalin komunikasi dengan berbagai pihak, bahkan banyak diantara karya tulisnya yang lahir di masa pengasingan dengan penekanan terutama terhadap respon anti-penjajahan dan maraknya gerakan reformisme Islam.
Aktivitas politiknya di Sarekat Islam (SI), seringkali membangun kecurigaan pihak kolonial kepada Syekh Sanusi yang pada 1915 tercatat sebagai penasehat SI Sukabumi. Hal inilah yang kemudian, kasus Cimareme di Garut yang dikaitkan dengan Afdeeling B oleh pemerintah---isu ini terkait akan munculnya pemberontakan dari SI di wilayah Priangan---menyeret namanya sebagai tokoh yang dicurigai dan kerap kali ditangkap dan diasingkan pihak Belanda.
Keterlibatan Syekh Sanusi dalam politik tampaknya tidak cocok, sehingga ia kemudian mengundurkan diri dari SI pasca peristiwa Garut yang menewaskan H Hasan dan keluarganya ketika mereka menolak menjual padinya kepada pihak kolonial dengan jumlah dan harga yang ditetapkan pemerintah.