Hanya di tahun 2019 ini rasa-rasanya menjadi puasa yang semestinya secara khidmat dijalankan seluruh umat muslim, tetapi diramaikan oleh kasus kekerasan politik yang menggelinding di jalanan.
Aksi yang membuat ricuh pada 22 Mei lalu, semakin menguak banyak hal yang memang menjalankan praktik kekerasan politik secara terang-terangan.
Mencuatnya sederet nama tokoh nasional yang dijadikan target pembunuhan oleh sekelompok orang, jelas erat kaitannya dengan suatu kepentingan politik. Pemilu 2019, ternyata menyisakan bola panas demokrasi yang kemudian dimanfaatkan segelintir orang demi tujuan-tujuan kekuasaan.
Parahnya, aksi kekerasan ini justru didisain secara terencana di saat puasa, padahal puasa sendiri bagi umat muslim merupakan aktivitas menahan dan mengendalikan diri dari segala hal yang tidak bermanfaat, terlebih mengganggu atau merusak.
Uniknya, mereka yang kemudian terindikasi makar, justru merupakan orang-orang yang sejauh ini dipandang publik sebagai muslim yang taat, atau paling tidak, secara terbuka menyatakan identitas politiknya kental nuansa agama. Pengacara kesohor yang selalu diidentikkan dengan "pembela umat Islam", Eggi Sudjana, justru "dirumahkan" akibat hasutannya dalam suatu acara mengajak massa berbuat makar.
Kebenciannya terhadap aparat pemerintah, sepertinya tak dapat lagi dikendalikan, sehingga nilai puasa yang seharusnya mengental dalam diri setiap muslim, justru meleleh. Eggi seolah masuk perangkap yang ia buat sendiri, sebagai ahli hukum namun terjerat kasus hukum.
Aktivitas makar di bulan puasa tidak berhenti pada fenomena Eggi, belakangan malah tersiar kabar seorang purnawirawan jenderal TNI malah diciduk polisi. Kivlan Zen, yang sudah sejak lama muncul menjadi sosok kontroversial di depan publik, memang seringkali menjadi ikon "perlawanan" umat Islam yang secara politik selalu berseberangan dengan pihak pemerintahan.
Sejak suaranya yang lantang dalam berbagai diskusi mengenai "Tragedi PKI", Kivlan semakin moncer dielu-elukan sekelompok orang yang mendidentifikasikan dirinya dengan kekuatan "Islam politik". Namun, ada satu jenderal yang juga sangat dikenal, namun rasa-rasanya belakangan seolah hilang di telan bumi, padahal dia dipromosikan sebagai "jenderal santri" yang cakap memimpin negeri.
Bagi saya, politik kekerasan dalam bentuk apapun, terlebih ada upaya-upaya tersembunyi maupun terang-terangan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah, jelas bertentangan dengan undang-undang dan lebih jauh menyalahi dan melanggar aturan-aturan agama Islam. Anehnya, kegiatan ini justru seolah sengaja dijalankan ketika puasa, padahal puasa, adalah satu-satunya ritual yang esensinya mendidik setiap orang untuk tidak memaksakan kehendak.
Tidak hanya itu, Islam secara tegas mengajarkan, "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan para pemimpin di antara kamu" (QS. An-Nisa: 59). Ayat ini sangat jelas mendudukkan para penguasa itu setara dalam hal ketaatannya dengan Allah dan Rasul, sehingga ketaatan kepada pemerintah jelas bagian dari perintah agama, par excellence.
Dengan demikian, jika ada upaya-upaya tertentu yang mendorong kepada suatu aktivitas politik yang didahului dengan upaya membangun kebencian kepada pemerintah lalu berupaya menggulingkannya di tengah jalan, jelas pelanggaran berat baik dari sisi agama maupun kesepakatan politik.