Sudah hampir dua malam ini, banyak yang menduga-duga, apa sesungguhnya yang sedang terjadi di malam yang seharusnya penuh kedamaian dan kemuliaan, yang berubah menjadi malam kegelisahan, ketakutan, dan kekhawatiran?
Di beberapa sudut kota Jakarta, asap masih tampak mengepul, aroma bensin merebak, gegap-gempita amarah dan teriakan-teriakan membangkitkan semangat, seolah menggantikan malam yang diyakini lebih baik dari seribu bulan ini. Sepertinya, apa yang dipikirkan dan diinginkan mereka, tidak sama dengan apa yang dipikirkan dan diinginkan kebanyakan orang pada saat ini. Beberapa malam di beberapa sudut kota, hampir yang tampak disana-sini hanyalah kericuhan dan kerusuhan.
Partanyaan yang kerap kali terlontar dari sebagian besar masyarakat, tentu saja kapan kerusuhan itu berakhir? Besok? Lusa? Atau tak ada satupun pihak yang berani menjamin, kapan fenomena bakar-bakaran, saling lempar, saling adu mulut, dan semacamnya itu teratasi? Sekalipun ada sebagian orang yang menyatakan wajar bahwa pihak yang kalah dalam kontestasi selalu saja merasa tidak puas, lalu dengan dalih kecurangan, mereka mencari pembenarannya sendiri. Atau, bisa saja pihak penguasa seolah berat sebelah dengan tidak memberikan rasa keadilan yang sewajarnya, sehingga pihak-pihak tertentu yang berseberangan secara politik, terus ditekan dan dikerdilkan kekuatannya.
Lalu, ada saja pihak-pihak yang memperkeruh dengan mengkaitkan berbagai kerusuhan di Ibu Kota ini dengan kelompok agama tertentu yang berhaluan keras. Atau, paling tidak, kerumitan dilakukan oleh mereka yang gemar melakukan politisasi agama demi membakar semangat rakyat untuk mengobarkan perjuangan politiknya bersama barisan mereka.
Memang, saya sudah tak lagi merasa heran, ketika ada pihak-pihak tertentu yang memperalat agama dalam melakukan berbagai pembenaran. Pemanfaatan agama dalam ruang politik, tentu saja hal wajar dan biasa, sebab agama dapat menjadi kekuatan legitimasi tertentu. Yang tidak wajar, jelas memaksa dalil-dalil agama dalam melakukan pembenaran secara politik yang bukan pada tempatnya.
Salah satu dalil agama yang baru-baru ini "dipaksa" untuk mendukung kebenaran agitasi politik dalam menggelorakan kecurangan penguasa dalam perhitungan suara adalah ayat suci Alquran. Dari informasi yang saya terima, seorang kawan mengeluh dan mempertanyakan dalil Alquran yang dipakai untuk pembenaran mereka atas kecurangan pemilu. Terjemahan dari ayat Alquran tersebut adalah: "mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak redlai. Dan adalah Allah Maha Meliputi (ilmu-Nya) terhadap apa yang mereka kerjakan" (QS. An-Nisa: 108).
Ayat diatas, seolah-olah cocok karena kebetulan pihak pemerintah mengumunkan siapa yang memperoleh suara terbanyak di ajang pemilu. Diksi kata, "bersembunyi dari manusia" dan "suatu malam mereka menetapkan" adalah dua hal yang nampaknya sesuai dengan maksud pembenaran bagi suatu siasat yang tentu saja menentang Tuhan dan dalam kondisi tertentu jelas menentang agama itu sendiri.
Padahal, mengumumkan berarti menjelaskan kepada masyarakat secara merata, sebab suatu pengumuman jelas tak ada yang disembunyikan karena memang diumumkan kepada khalayak, bukan tidak diumumkan karena disembunyikan.
Seorang kawan nampaknya tidak puas dengan jawaban yang saya maksud, hingga terus memastikan, apakah dibenarkan memakai dalil agama ini untuk kepentingan politik? Saya selanjutnya mencari tahu dan mencoba mencari jawaban yang sebenarnya, apa makna ayat Alquran yang dimaksud yang telah viral dalam ruang-ruang media sosial.
Untuk menjelaskan makna ayat dan apa yang terkandung di dalamnya, terjemahan tentu saja tidak cukup, apalagi terjemahannya hanya meng-copy-paste dari internet dengan ditambahkan kalimat-kalimat pembuka yang dramatis dan sarkastis.
Dalam tafsir "Marah Labid" karya Syekh Nawawi Banten, ayat diatas terkait dengan peristiwa pencurian yang dilakukan seseorang lalu dibela oleh ibunya di pengadilan agar terlepas dari segala kesalahan. Sang ibu memohon kepada penguasa---pada waktu itu Khalifah Umar bin Khatab---untuk mengampuni putranya, tetapi Umar menolak, karena apa yang dilakukan sang ibu merupakan siasat dan bentuk kepura-puraan yang telah dirancang sebelumnya di malam harinya sebelum masuk ruang pengadilan. Sedikit berbeda, Tafsir Jalalain menjelaskan tentang seseorang bernama Thu'mah yang malu terhadap kaumnya dan bersekutu dengan kaumnya di waktu malam untuk bersiasat mengatur sumpah palsu dan menjatuhkan tuduhan kesalahannya pada seorang Yahudi.