Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Jumat dalam Tradisi Barat, Islam, dan Jawa

Diperbarui: 5 April 2019   15:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: Shutterstock

Membicarakan hari Jumat bagi saya sangat menarik, selain hari itu adalah hari terakhir dari segala rutinitas bekerja, juga hari yang memiliki pemaknaan teologis yang cukup kuat, bahkan mungkin dianggap "sakral" oleh sebagian orang. 

Terutama dalam budaya Jawa, barangkali istilah "Jumat Kliwon" dikenal masyarakat memiliki kesan kuat dalam hal mistisisme yang kerap dihadirkan para penguasa Jawa masa lalu. Raja-raja Mataram, konon setiap malam Jumat Kliwon "matur" kehadapan Ratu Kidul untuk suatu kebutuhan khusus, terkait dengan kharisma dan kekuasaan politiknya.

Dalam sejarah agama-agama besar dunia, umat Yahudi menggunakan hari "Sabbath" (Sabtu) sebagai pijakan teologisnya dengan suatu keyakinan bahwa Tuhan "berisitirahat" setelah enam hari menciptakan alam raya---dimulai dari ahad, senin, dan seterusnya---sehingga Sabtu adalah hari dimana Tuhan beristirahat. 

Saya belum menemukan bagaimana umat Kristiani menjadikan Hari Munggu---"Ahad" dalam Islam---yang kemudian dijadikan salah satu hari besar keagamaannya.

Pemilihan Hari Jumat dalam tradisi Islam, berakar pada tradisi Arab, dimana kata "jum'ah" atau "jumu'ah" berkonotasi pada nuansa berkumpulnya orang-orang pada hari itu untuk melakukan berbagai kegiatan, termasuk mensucikan diri mereka dengan cara beribadah.

Dalam beberapa karya sejarawan Barat yang cenderung negatif terhadap Islam, menyebut Hari Jumat yang dijadikan "hari suci" umat muslim sebagai tradisi yang diambil dari kebiasaan paganis. Seorang profesor teolog berkebangsaan Jerman, Gisbertus Voetius (1589-1676) menulis sebuah risalah berjudul "Selectae Disputationes Theologicae" yang cenderung negatif terhadap Islam.

Ia misalnya menyebut, bahwa umat muslim telah mengganti hari "Sabbath" dengan hari Jumat atau "Dies Veneris" terutama karena mereka memuliakan dewi cinta, sebagaimana yang dilakukan para penganut pagan. Perlu diketahui, bahwa dalam beberapa budaya Eropa hari Jumat disebut sebagai "Hari Venus", sebagaimana dalam bahasa Prancis, Jumat disebut dengan "Vendredi" yang dalam mitologi Eropa, Venus adalah Dewi Cinta.

Dalam tradisi Arab, istilah "yaum al-jumu'ah" (Hari Jumat) sudah sejak zaman Jahiliyah dipergunakan untuk merujuk pada suatu kekhususan dimana hari itu merupakan ajang berkumpulnya bangsa Arab dengan berbagai keistimewaannya (yaumu al-'urubah). 

Maka, hari Jumat umumnya dipergunakan sebagai alasan berkumpul menganalogikan pada suatu situasi dimana para penggembala selalu menyatukan gembalaannya agar tidak tersesat dengan cara memberinya makanan. Sehingga pada hari itu, orang-orang berkumpul dengan tujuan kurang lebih sama: menghindari kesesatan karena dengan berkumpul atau bersatu, mereka tampak lebih kuat dan tidak khawatir terpecah-belah.

Dalam kitab "Lisaan al-'Arab", Ibnu al-Mandzur menjelaskan bahwa kemungkinan istilah "Jumu'ah" memang terkait erat dengan "yaum al-'urubah" yang pertama kali digagas oleh kakek Nabi Muhammad, Ka'b bin Lu'ay. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline