Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Valentine dan Budaya yang Tertukar

Diperbarui: 14 Februari 2019   14:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Istilah "Valentine" yang terambil dari bahasa Inggris yang kemudian membudaya dalam bangsa kita, sejatinya bukan budaya, tetapi lebih kepada etika bisnis. Simbol hati merona merah muda dan cokelat, seolah menjadi ikon utama yang marak diperdagangkan di hari-hari jelang Valentine. 

Mungkin saja benar ketika Richard Cadbury memulai memperkenalkan cokelat sebagai kado Valentine, sebagai alasan etika bisnis agar perusahaan coklatnya laris manis melalui suatu propaganda bisnis melalui perayaan hari ungkapan kasih sayang yang dimulai 14 Februari. Jika momen ini lalu membudaya dan diikuti oleh segenap anak bangsa, sama halnya kita menukar budaya asli kita sendiri dengan budaya milik orang lain.

Ada serentetan budaya asli bangsa ini yang jauh lebih baik bahkan membumi tetapi terlampau banyak yang tertukar dengan budaya bangsa lain. Dulu kita hidup rukun dan saling gotong-royong, tepo seliro, saling menghormati dalam setiap perbedaan, kini bertukar dengan budaya individualisme, perkoncoan, saling curiga, kehilangan kepercayaan, bahkan mungkin tak ada lagi toleransi dalam setiap keragaman. 

Dulu kita mengenal slametan, sukuran, mitoni, silaturahmi, sekarang hanya disisakan sekadar untuk urusan-urusan politis dan pengakuan sosial, hampir bukan lagi dianggap tradisi sehari-hari yang dihormati dan dijunjung tinggi.

Terus terang saja, saya juga pernah mengalami masa muda di mana momen Februari senantiasa dijadikan momen terindah karena siap-siap kita membuat sebait puisi dalam sobekan buku tulis yang diselipkan dalam buku pelajaran sekolah. Buku itu lalu kita simpan tepat diantara rongga meja kayu tipikal sekolah zaman dulu, dimana tempat duduk pujaan hati kita berada. Jika ada duit, mungkin saya sertakan juga cokelat yang bukan Cadbury karena pasti gak terbeli. 

Budaya Valentine dengan ungkapan kasih sayang seolah menggusur budaya asli kita yang sebelumnya lebih membumi. Karena sepengetahuan saya, kasih sayang itu bukan diktum tekstual, bukan juga ucapan yang dikhususkan di hari tertentu, namun lebih dari itu berkasih sayang adalah prinsip kemanusiaan yang paling asasi.

Untuk sekadar mengingatkan, bahwa pada 14 Februari 1871 lahir seorang ulama besar, penggerak perubahan zaman sekaligus tokoh pergerakan kemerdekaan yang paling dikagumi, KH Hasyim Asy'ari. Sosok kiai rakyat ini sulit dicari tandingannya hingga kini, sekalipun banyak sekali ajaran-ajarannya soal pendidikan, ahlak, kehidupan sosial-politik yang kerap kali berhenti ditumpukan teoritis yang gagal pada tingkat praksis. Ajarannya yang kental dengan nuansa kasih sayang kepada sesama umat, patut menjadi teladan saat ini, ditengah ambivelensi politik yang saling tohok dan saling tabok hanya karena ambisi kekuasaan dari beberapa kelompok yang ingin menang.

Kebanyakan yang diingat di 14 Februari adalah Valentine yang seolah-olah itulah budaya "baik" sebagai ungkapan kasih sayang para muda-mudi yang kadang kebablasan. Budaya kita ditukar budaya asing bahkan mendistorsi ungkapan kasih sayang hanya bagi dua sejoli, sehingga nilai kasih sayang yang lebih besar justru ambyar dalam diksi Valentine yang selalu saja menjadi perdebatan.

Yang paling mengkhawatirkan bahwa nilai-nilai kasih sayang yang selama ratusan tahun hidup dalam alam sosial-politik masyarakat kita, semakin lama semakin habis terkikis oleh kekuatan hirarkis dan tergerus oleh perubahan arus. Seolah kita ini banyak yang terlampau susah menjauhkan dari budaya "kagetan" sehingga begitu mudahnya budaya kita ditukar budaya lain.

Lalu, apakah ini rangkaian dari efek domino perubahan zaman? Akulturasi budaya dan politik? Mungkin saja iya, namun dalam beberapa hal disadari maupun tidak kita memang ternyata dijajah oleh budaya orang lain dan meninggalkan budaya kita sendiri.

Saya sendiri bukan penganut kepercayaan akan teori konspirasi sekalipun kadang jika melihat pada konstruksi budaya kita yang semakin rapuh, sedikit banyak saya akhirnya harus mempercayainya. Konon, bahwa penyebaran budaya ada kaitannya dengan teori konspirasi yang disusun sedemikian rupa, dipropagandakan, dipertukarkan melalui pertukaran budaya, baik lewat buku, film, pelajar, dan lainnya dengan tujuan perubahan mindset agar budaya asing diikuti menjadi seolah budaya kita sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline