Saya lebih suka menyebut "kiai" karena lebih membudaya disamping istilah lainnya yang juga popoler seperti ulama, ustaz, atau dai. Sekalipun istilah "kiai" tampak berkonotasi maskulin karena pada akhirnya tidak ada perempuan yang disebut kiai, namun paling tidak kebanyakan para kiai yang seringkali dianggap sebagai "cultural broker" (perantara budaya) tentu saja laki-laki. Dalam konteks politik, kiai juga lebih sering menjadi figur yang mendukung salah satu kekuatan politik tertentu.
Momentum Pilpres tentu saja berdampak secara lebih luas dalam menempatkan para kiai dengan fungsi "political broker" (perantara politik) melihat dari maraknya berbagai dukung terbuka secara politik kepada dua kandidat capres yang bertarung di ajang kontestasi politik nasional.
Berbagai hubungan antara kiai dan politik---tepatnya negara---memang terasa ambivalen. Ada kalanya banyak---jika tidak kebanyakan---diantara kiai yang memiliki hubungan sangat dekat dengan pemerintah, membangun relasi-relasi kultural-politik secara baik dengan tujuan tentu saja mendapatkan banyak kemudahan fasilitas apapun dari pemerintah.
Disisi lain, ada juga para kiai yang menjaga jarak dengan pemerintah---bahkan ada yang terlampau ketat dan tanpa kompromi---untuk menegaskan independensi keulamaan mereka yang hanya fokus dalam urusan-urusan kemandirian pemberdayaan umat dan bukan hal politik praktis.
Figur para kiai sebagai tokoh kharismatik dalam konteks sosial-politik memang seringkali dimanfaatkan oleh relasi-relasi politik kekuasaan. Tidak saja soal penguasa yang ingin mendapatkan legitimasi keagamaan dari mereka dalam hal dukungan atas kebijakan-kebijakan sosial-politiknya, namun lebih jauh dari itu bahwa suara para kiai dapat juga menjadi corong politik bagi berbagai kepentingan kontestasi, mendongkrak elektabilitas politik, meraup dukungan suara dari para pengikut setianya yang terjalin dalam ikatan-ikatan kultural yang cukup rumit. Kiai dan politik atau ulama-umara setidaknya mengalami pasang surut dalam konteks luas hubungan-hubungan agama-negara di Indonesia dalam beragam bentuknya sendiri-sendiri.
Lalu, bagaimana kita dapat menilai jika keberadaan Ustaz Abdus Somad (UAS) yang belakangan pernah dicap sebagai kiai dalam posisi selalu kritis terhadap penguasa---untuk tidak menyebut anti pemerintah, lalu tiba-tiba muncul sebagai sosok yang diulas media melakukan safari kepada ulama-ulama yang dianggap "mendukung" pemerintah?
Banyaknya asumsi yang melihat praktik sowan UAS ke beberapa "kiai independen" tampak diposisikan sebagai bentuk "safari politik" dimana dirinya tak lagi sejalan dengan kiai-kiai sebelumnya yang tampak kritis.
UAS yang mengunjungi kiai kharismatis seperti Habib Luthfi bin Yahya dan Kiai Maimoen Zubair, seolah tengah memposisikan dirinya sebagai "political broker" dimana secara sosiologis dirinya menjembatani berbagai bentuk kebekuan politik yang dipersepsikan masyarakat saling bertentangan dan kontradiktif.
Dalam konteks tahun politik, safari UAS kepada beberapa kiai kharismatis akan sulit jika sekadar dinilai sebagai bentuk penegasan tradisi yang wajar dalam hubungan santri-kiai. Kunjungan ini jelas mengandung makna politik, dimana UAS secara sadar tak bisa memposisikan dirinya terus berada dalam barisan oposisi yang seolah berhadapan secara langsung dengan pemerintah.
Kedua tokoh kharismatis yang dikunjunginya jelas merupakan tokoh-tokoh penting yang lebih independen sebagai ulama yang menjaga jarak dengan penguasa, sekalipun mereka bukanlah sosok anti pemerintah yang ditunjukkannya melalui ceramah-ceramahnya yang kerap bernada kritis.
UAS tentu saja sosok kiai yang tengah naik daun dan popularitasnya tentu saja melampaui ekspekstasinya sendiri---karena ia sendiri bukan orang Jawa---dan ceramah-ceramahnya diminati oleh berbagai kalangan dengan penekanan citranya yang toleran, terbuka, dan dalam konteks syariat Islam bukan sosok yang kerap membid'ahkan atau mengkafirkan pihak lainnya.