Di hampir setiap gelaran kontestasi politik, keberadaan golput sebagai bagian dari pilihan politik masyarakat tetap hidup mewarnai setiap proses suksesi pergantian kekuasaan. Dalam iklim politik demokratis, nyawa golput ada dalam setiap simpatisan dan partisan politik karena pada dasarnya mereka tetap memiliki kecenderungan kepada wujud pilihan politiknya.
Golput bukan apolitis, tetapi justru terlampau selektif memaknai setiap pilihan politiknya. Ketika mereka tak menemukan kandidat yang dapat secara tepat mewakili aspirasi mereka, maka golput adalah solusinya. Fenomena golput adalah wajar dan bukan sebuah "anomali politik" yang perlu dikhawatirkan apalagi dilarang-larang, terlebih demokrasi adalah segala hal terkait konteks kebebasan berpolitik.
Saya sengaja membuat keterkaitan antara fenomena golput, Islam dan politik, mengingat Islam sebagai agama dan ajaran moral marak dijadikan komoditas politik dalam berbagai isu kekuasaan. Disisi lain, munculnya gerakan-gerakan Islam yang bernuansa reformis dan terkadang "fundamentalis" juga umumnya diinisiasi oleh para aktivis politik yang notabene berlatarbelakang parpol Islam.
Seolah muncul wacana kuat atas islamisasi politik, dimana dorongan untuk melangsungkan suksesi politik didasari oleh adanya semangat kuat dalam ekspersi keberagamaan, bukan realitas murni atas kesadaran politik. Wujud paling mungkin dalam soal korelasi agama dan politik ini tercermin dari Gerakan 212 yang kemudian tampak dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan suksesi kekuasaan.
Dalam wacana besar politik Islam -- terutama dalam konteks Indonesia -- seolah menjadi golput itu dilarang atau paling tidak akan menjadi hal yang sia-sia, karena ada upaya yang cukup kuat mempengaruhi umat Islam agar tak golput dalam setiap pemilihan umum.
Banyak alasan yuridis yang digaungkan, dari mulai soal keharusan memilih pemimpin dalam lingkup paling kecil dimana jika ada tiga orang maka salah satunya harus dipilih sebagai pemimpin, hingga dalam konteks yang lebih besar, bahwa kontestasi politik harus didasarkan atas legitimasi para ulama, kepada siapa mereka memberikan dukungannya.
Upaya para ulama "melegitimasi" para kontestan ini sangat tampak dari berbagai deklarasi dukungan yang melibatkan para ulama dibelakangnya.
Fenomena golput atau dalam KBBI dimaknai sebagai "golongan putih" barangkali memiliki konotasi netral dalam suasana tarik-menarik kekuatan politik antarkubu yang berkontestasi.
Golput memang cenderung tidak memihak, tetapi mereka menawarkan solusi jalan tengah dengan tidak menjadi partisan atau pendukung salah satu kandidat politik. Mereka jelas bukan kelompok apolitis sebagaimana dibayangkan sebagian orang, namun golput lebih memilih untuk tidak menjadi barisan fanatisme politik yang seringkali kehilangan rasionalitasnya dalam hal mendukung atau memenangkan salah satu kandidatnya.
Saya kira, fenomena golput mungkin saja dapat semakin semarak dan meningkat ditengah ekspektasi berlebihan masyarakat dalam soal dukungan politik. Tidak menutup kemungkinan, suasana Pipres 2019 kali ini banyak yang memprediksi bahwa fenomena golput justru menguat, akibat gagalnya sistem politik membuat nuansa kompetitif yang lebih sehat, terukur, dan memberikan pendidikan politik yang bermartabat kepada masyarakat.
Tidak hanya sistem politik yang tampak mengalami kegagalan, penguasa pun tampaknya berat sebelah lebih mementingkan berbagai afiliasi politik pendukungnya dan memberikan tekanan politik cukup besar kepada pihak-pihak yang beroposisi dengan mereka.