Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Imam Masjid Memang Harus NU

Diperbarui: 28 Januari 2019   11:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernyataan Kiai Said Aqil Siradj, Ketua Umum PBNU, di tengah kegiatan harlah Muslimat NU ke-73 di GBK Senayan Jakarta, memang cukup menggelitik. Pasalnya, ia mengemukakan bahwa warga NU harus menguasai peran-peran keagamaan (syuhuudan diniyyan) secara jelas dari mulai khatib-khatib, imam masjid, KUA-KUA, hingga menteri agama harus dari NU, karena jika bukan NU salah semua. 

Sesungguhnya tak ada yang aneh dalam pernyataan ini, tak jauh beda ketika peran politik dikuasai oleh sekelompok orang lalu mereka menempatkan orang-orangnya untuk berada dalam  struktur-struktur kekuasaan pemerintahan.

Barangkali yang jadi persoalan adalah soal imam masjid yang harus dari NU, seolah meminggirkan peran pihak lainnya yang bukan berasal dari ormas NU. Bagi saya, NU yang dimaksud adalah tak melulu dikonotasikan ormas, namun lebih kepada cara pandang, pemahaman, ajaran, tradisi, dan segala hal terkait pengalaman keagamaan yang cenderung mengadaptasi kearifan lokal. 

Mungkin ada benarnya, bahwa sejauh ini yang terjadi di masyarakat adalah penguasaan masjid oleh pihak-pihak tertentu yang kontra kearifan lokal, bahkan seolah memaksakan suatu mazhab baru yang terus menerus dijalankan secara "brain washing" kepada umat.

Saya mengalami suatu kondisi dimana memperjuangkan kenyataan menjadi imam masjid sangat berpengaruh pada soal ikatan-ikatan solidaritas masyarakat secara kultural. Ketika masjid "dikuasai" kalangan NU, ikatan-ikatan solidaritas itu menguat. 

Lain halnya, ketika masjid dikuasakan kepada pihak-pihak tertentu yang "bukan NU" hampir dipastikan memberangus setiap kearifan lokal, tradisi keagamaan tergerus oleh semangat puritanisme dan yang paling penting bahwa kerap kali soal tradisi yang hidup selama bertahun-tahun di dalam masjid itu malah dianggap sesat. 

Tak hanya itu, kajian-kajian keagamaan-pun tak lebih dari model indoktrinasi yang kebanyakan menyerang para ulama terdahulu, menganggap pendapat-pendapat mereka tak sesuai dengan semangat ortodoksi Islam dan dianggap melenceng dari ajaran-ajaran Alquran dan Sunnah.

Sebagai bagian dari imam masjid, saya sangat merasakan betapa gerakan massif yang terjadi di masyarakat---terutama ditengah masyarakat urban---oleh sekelompok "warga baru" dengan membawa seperangkat mazhab baru yang kontra NU jelas diluar dugaan. 

Masjid yang dulu ramai oleh syiar keagamaan Islam melalui warna-warna tradisi ke-NU-an yang khas, seperti maulid, marhabanan, yasinan, atau solawatan seolah dicampakkan menjadi barang bid'ah ditangan mereka. 

Tak hanya itu, tradisi dzikir yang ramai dikumandangkan setelah selesai salat bahkan disebut sebagai tradisi yang tak ada rujukannya di zaman Nabi. Masjid pada akhirnya sepi hanya sebagai tempat ibadah ekslusif segelintir orang, tanpa ada syiar didalamnya kecuali indoktrinasi dan penyesatan.

Sekalipun saya tak menafikan adanya suatu perbedaan ideologis dalam hal keagamaan Islam, namun soal tak adanya kompromi dalam hal-hal tradisi oleh pihak-pihak tertentu yang menguasai masjid, sedikit banyak memicu konflik horizontal di tengah masyarakat. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline