Beberapa waktu yang lalu, hampir setiap malam saya selalu mengikuti acara tahlilan di sekitar rumah mengingat ada saja warga yang kebetulan wafat. Terasa kematian begitu dekat dan bergulir silih berganti secara pasti. Jika dalam sebulan saja ada dua orang yang mati, maka tahlilan bisa dipastikan hampir setiap malam, mengingat umumnya tradisi ini digelar di hari pertama sampai ketiga setelah itu, digenapkan di hari ketujuh setelah kematian.
Tahlilan selain tradisi paling efektif dalam bersedekah, juga menjadi "hiburan" spiritual sebab didalamnya dibacakan Alquran dan dzikir tertentu secara bersama-sama. Menghibur melalui tahlilan, tentu saja dapat mengurangi beban kedukaan seseorang, sekaligus bagian dari sebuah perjalanan spiritual bagi yang meyakininya.
Manusia tentu saja bukan sebatas mahluk jasmani yang cenderung memperhatikan kondisi fisiknya, namun lebih dari itu, realitas rohani atau spiritualitas adalah elemen terpenting dalam seluruh kehidupan yang juga butuh hiburan sebagaimana yang dilakukan sisi jasmaninya.
Jika otak diisi oleh asupan gizi ilmu melalui belajar dan jasmani diolah sedemikian rupa melalui aktivitas olah raga, maka rohani-pun butuh asupan gizi spiritual yang cukup dan salah satu yang paling memungkinkan adalah tahlilan.
Rangkaian bacaan doa pilihan dan ayat-ayat tertentu dari kitab suci Alquran, seolah ramuan gizi yang lengkap dan pas, paket siap saji bagi kebutuhan vitamin rohani.
Tahlil tentu saja apresiasi tertinggi seorang muslim terhadap kalimat tauhid, suatu entitas paling radikal dalam ajaran Islam yang memperkokoh keimanan didasarkan atas pendekatan-pendekatan spiritual. Kalimat tauhid bukan simbol, bukan realitas tekstual, apalagi sekadar bendera.
Membaca kalimat tauhid secara berulang-ulang dengan kesungguhan hati dan meyakini kebenarannya, itulah yang dibiasakan dalam sepanjang sejarah tradisi Islam. Hal ini jelas ketika Nabi Muhammad menyatakan, "Tak ada seorangpun yang ketika membaca kalimat tauhid dengan kesungguhan hati dan keyakinan, kecuali Allah haramkan atasnya api neraka".
Diakui maupun tidak, tahlil ternyata menemukan akar sejarahnya dalam kehidupan Nabi Muhammad, karena memang tahlil merupakan inti terdalam dari ajaran Islam itu sendiri. Menariknya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika mengomentari pernyataan hadis Nabi diatas, terekam secara apik dalam karyanya, "Majmu' al-Fatawa", menyebut secara gamblang dimana tahlil dapat membebaskan seseorang yang telah mati dari panasnya api neraka (hallala yakuunu baraa'ah lil mayyit mina an-naar).
Bahkan, dalam fatwa selanjutnya ia menjelaskan, jika seseorang membaca tahlil berulang-ulang baik sedikit maupun banyak, lalu dihadiahkan untuk orang meninggal, maka Allah akan menilainya sebagai sebuah manfaat atas upayanya itu.
Saya sendiri meyakini, tradisi tahlilan yang tersebar dalam banyak kebiasaan masyarakat muslim Indonesia, justru memiliki akarnya dalam seluruh jejak tradisi muslim awal. Perkembangan Islam yang sangat cepat melalui berbagai macam cara---termasuk akulturasi budaya atau penaklukan-penaklukan tanpa pertumpahan darah---memungkinkan ajaran Islam tak hanya diterima kalangan bawah, tetapi lebih banyak dilirik kalangan atas.
Tak mungkin ajaran ini diterima masyarakat jika disebarkan melalui peperangan, terlebih di Indonesia. Uniknya, Islam menerobos keyakinan para elit-nya waktu itu dan agama ini justru tumbuh subur karena penguasanya memang telah memeluk Islam dan diikuti kemudian oleh rakyatnya secara suka rela.