Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

"DILDO" dan Syahwat Politik

Diperbarui: 15 Januari 2019   11:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ada-ada saja kreativitas sekelompok orang yang menampilkan pasangan capres-cawapres parodi Nurhadi-Aldo alias "Dildo" yang ramai menjadi perbincangan warganet. Seolah menunjukkan bahwa "Dildo" yang berkonotasi "alat pemuas seks" ternyata mampu memparodikan dunia politik di mana setiap orang-orang yang ikut aktif terlibat didalamnya dalam pemenangan salah satu kubu memang tengah berfantasi memuaskan syahwat kekuasaan. 

Kehadiran pasangan Dildo seolah menyindir penuh satire para simpatisan dan pendukung politik yang memang selalu ingin dipuaskan secara politik, bagaimanapun caranya. Terkadang, ketidakmampuan mereka "memuaskan" pasangan yang didukungnya, justru selalu mencari kepuasan tersendiri, entah dengan mengobral simbol-simbol kepolitikan, mengumpulkan massa membuat dukungan, atau mengumbar perkataan apa saja yang penting gairah politik mereka terpuaskan.

Baru kali ini ada parodi politik sedemikian viral, di tengah buruknya situasi tahun politik jelang Pilpres 2019. Tanggapan masyarakat terhadap pasangan Dildo sedikit banyak mengurangi kejenuhan atas tontonan yang kurang bermanfaat dari atas panggung politik, sekadar berebut syahwat kekuasaan. Saya kira, masih banyak sekumpulan orang waras yang tak melulu berfantasi ria terhadap dua kandidat politik yang ada. 

Fanatisme yang tampak berlebihan, ditambah oleh kenyataan saling serang, saling lapor, dan saling klaim kebenaran, semakin menyeret suasana politik tampak sakit karena demikian sulitnya memperoleh "ejakulasi" politik. Dildo serasa menjadi angin segar bagi kalangan yang tak mau ikut terlibat dalam "adegan ranjang" yang begitu menggelikan diatas panggung politik kekuasaan.

Di tengah semaraknya syahwat politik kekuasaan, Dildo memberikan alternatif agar memuaskan diri sendiri melalui tema-tema kritik yang satire, tanpa harus menohok atau memihak salah satu kubu. Mungkin saja bahwa keberadaan pasangan parodi Dildo ini menjadi simbol atas menguatnya kaum golput yang benar-benar muak dengan realitas politik dimana banyak diantara simpatisan atau "fanatisan" salah satu kubu yang malah "melacurkan" dirinya secara politik. Pelacuran politik jelas mempertontonkan betapa mereka yang ramai berebut panggung, saling memuaskan syahwat kekuasaannya secara nyata dan terang-terangan. Bukan demi kepentingan rakyat kecil, tetapi demi kepentingan "kelompok besar" dan kaum elitisnya yang tak pernah puas berebut kuasa.  

Dildo secara tidak langsung menawarkan alternatif jalan keluar bagi mereka yang memiliki syahwat besar politik agar mau meredam tensi syahwatnya melalui tema-tema sarkasme politik yang menyegarkan. Namun, frasa "golput" yang seolah tabu dalam konteks kontestasi politik membuat Dildo "membebaskan" setiap orang  untuk memuaskan syahwat politiknya kepada salah satu kandidat resmi yang telah ada. Bukan suatu kebetulan saya kira, ketika para fans Dildo juga merespons secara baik keberadaannya di dunia "fantasi" politik. Jumlah pengikutnya yang kian hari kian bertambah menunjukkan, Dildo sukses membuka kran kebebasan berpolitik dengan caranya sendiri sejauh syahwat politik mereka dapat tersalurkan secara tepat.  

Sulit untuk tidak mengatakan, Pilpres 2019 kali ini memang ditandai oleh syahwat politik yang sedemikian menggelora dimana antara satu dan lainnya tampak saling kontradiktif. Seolah-olah hampir tak ada "jalan tengah" yang sanggup menempatkan syahwat kekuasaan sesuai dengan porsinya, karena bersikap netral sekalipun sudah tentu dianggap "lemah syahwat" secara politik dan dalam tahap tertentu dianggap sebagai pecundang politik. Jadi, Dildo sejauh ini mampu menghadirkan alternatif "jalan tengah" tanpa harus menunjukkan netralitas atau keberpihakan kepada syahwat politik tertentu, melalui satire-satire-nya yang lucu.  

Politik semestinya tak harus dipandang sebagai syahwat kekuasaan yang tentu saja setelah terpuaskan, lalu ingin lagi, lagi, dan lagi. Dampak syahwat kekuasaan yang terlampau menggebu memang kerapkali menutup akal sehat sehingga lahir fanatisme buta sehingga politik dijalani berdasarkan cara pandang kacamata kuda. Syahwat kekuasaan yang terlampau tinggi, seringkali terjerumus pada praktik "pelacuran" sebagai bentuk paling jelas dari pragmatisme politik yang benar-benar kebablasan. Para pelacur politik tak ubahnya jaringan patronase yang mengeruk keuntungan dan membagikan kenikmatan kekuasaannya kepada mereka yang memang "membeli"nya. Anda boleh percaya atau tidak, bahwa dunia politik di ajang Pilpres 2019 kali ini mungkin saja "terburuk" sepanjang sejarah kepolitikan akibat gelinjang syahwat kekuasaan yang sulit sekali dikendalikan.

Entah kenapa, seolah-olah jika ada pihak lain yang memenangkan kontestasi kekuasaan dianggap membahayakan atau paling tidak akan sulit mengendalikan syahwat politiknya nanti setelah mencapai puncak kenikmatan. Politik seakan jatuh pada titik terendahnya hanya soal pemenuhan syahwat kekuasaan, tak lebih. Padahal, jika dipahami bahwa politik tak lebih dari soal pergantian kekuasaan secara alami yang bergulir setiap 5 tahun sekali, maka syahwat kekuasaan tak perlu diumbar dan dipertontonkan karena siapapun yang menang jelas merupakan bagian dari sebuah kenyataan rotasi kekuasaan. Banyak pelajaran baik yang dapat dipetik dari keberadaan Dildo, mengurai algoritma politik yang sedemikian rumit dengan hal yang lebih jenaka dan sederhana.  

Dari berbagai pengalaman saya mengikuti perkembangan politik melalui kontestasi dari pemilu ke pemilu, hanya dalam konteks Pilpres kali ini saja yang nampak lebih rumit dari Pilpres sebelumnya. Kerumitan jelas didorong oleh syahwat kekuasaan yang menggelora, melewati batas hasrat atau sekadar ambisi karena dipastikan telah terjadi "pelacuran" besar-besaran dalam konteks kekuasaan politik. Bagaimana tidak, seringnya drama politik terjadi---bahkan dari kasus paling sederhana seperti simbol jari---adalah gambaran syahwat politik yang sangat menggelikan, bahkan mungkin sekadar mempertontonkan "kenikmatan" dendam kesumat akibat tersumbatnya nafsu syahwat.

Ternyata, syahwat kekuasaan politik memang dalam banyak hal telah mengaburkan sisi kemanusiaan yang lainnya, termasuk juga nilai moral, hubungan-hubungan sosial yang cair dan terbuka, dan tentu saja mengartikulasikan lelucon dan kelucuan. Lihat saja, hampir tak ditemukan dalam konteks syahwat politik, kecuali ketegangan, kecurigaan, kebekuan, yang tentu saja tertutup siklus fanatisme buta yang sekian lama tersimpan dan mengkristal selama bertahun-tahun. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline