Mungkin yang paling "apatis" terhadap kenyataan copras-capres dan cenderung memikirkan kenyataan hidup yang semakin pahit hanyalah rakyat kecil. Seringkali kita dapati masyarakat di kampung yang kurang peduli terhadap kepolitikan, tapi lebih peduli bagaimana kehidupan diri dan keluarganya meningkat lebih layak.
Kalaupun harus ikut "berpolitik", mereka hanya ikut-ikutan mencoblos di pesta demokrasi lima tahunan, sekadar menunjukkan bahwa mereka merupakan warga negara yang taat kepada pemerintahan.
Bagi mereka, siapapun yang jadi presiden, hidup mereka tetap termarjinalisasikan dari berbagai kenyataan sosial-politik yang tentu saja hanya milik para elit di perkotaan, yang hanya mampu memanfaatkan suara mereka melalui lembar demi lembar uang recehan agar mereka mau ikut berpartisipasi dalam konteks politik.
Sebut saja Teguh, seorang pedagang lontong dan combro bersepeda yang sesekali mangkal depan Kampus UIN Ciputat. Ia telah merasa cukup bahagia ketika dagangannya ludes sebelum jam 9 pagi, tetapi tak jarang juga hingga menjelang zuhur combronya masih tersisa dan terpaksa ia bawa pulang.
Pak Teguh, begitu saya menyapa, dulu pernah menjadi pekerja lepas kebersihan di kampus, tetapi saat ini ia telah pensiun dan digantikan oleh seseorang yang lebih muda umurnya. Teguh tak paham politik, tak peduli siapapun yang jadi presiden nanti, karena dirinya tetaplah menjadi penjual lontong dan combro, bahkan telah dijalaninya berpuluh tahun, bahkan sejak saya masih menjadi mahasiswa di kampus tersebut.
Banyak sekali sosok-sosok Teguh yang lain, yang pada kenyataannya terus berjuang bertahan hidup ditengah sesaknya asap knalpot politik dan konflik antarkubu yang semakin meminggirkan rakyat kecil dari relasi-relasi sosial politik.
Muznah seorang perempuan paruh baya pengais sampah kantor, juga mengalami nasib yang kurang lebih sama. Sejak puluhan tahun yang lalu, profesinya ini tetap tak berubah, tetap sebagai pengais sampah saban pagi dan ditemani satu ekor anjing setianya. Lebih dari 10 tahun saya bekerja disini, hampir setiap pagi melihat Muznah memberi makan anjingnya hasil kreativitas dirinya mengolah sampah kantoran.
Muznah berbagi rezeki dengan binatang kesayangannya, sekalipun makanan yang ia peroleh sebatas sampah yang justru dibuang oleh mereka yang kelebihan makanan.
Saya meyakini, rakyat kecil itu hanya menjadi korban "obesitas" politik yang mengharu-biru ditengah perebutan kekuasaan para elit, sekadar memuaskan nafsu politik mereka sendiri. Obesitas politik tak ubahnya kasus Tati Wati yang setelah bertahun-tahun menimbun lemak lalu banyak pihak yang kemudian tersadar untuk bertindak.
Obesitas bukan akibat proses yang relatif singkat, tetapi butuh waktu bertahun-tahun sehingga berdampak pada tubuh seseorang. Obesitas politik pun pada akhirnya semakin dirasakan bertahun-tahun, terus menerus menimbun lemak kekuasaan yang hanya diperebutkan oleh mereka yang secara sosial beruntung menjadi bagian kalangan elitis.
Rakyat kecil selama ini hanya kebagian "menggotong" para elit, lalu mendudukannya pada kursi-kursi empuk yang penuh hormat, setelah itu mereka tetaplah kembali menjadi rakyat kecil yang termarginalisasikan dan tanpa perubahan.