Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Menelikung Agama Lewat "Politik" Imam Salat dan Wudhu Seciprat

Diperbarui: 3 Januari 2019   11:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: kompas.com

Beberapa waktu yang lalu, gawai saya diramaikan oleh beberapa gambar dan video capres-cawapres yang dikomentari. Dari soal foto capres Jokowi yang menjadi imam salat sampai video cawapres Sandiaga yang mempraktekkan cara berwudu secara singkat. Riuhnya grup di media sosial yang saling "klaim kebenaran" atas masing-masing kandidat ini serasa sangat menggelikan. 

Bagaimana tidak, agama dipersepsikan sekadar simbol lalu "dijual" ke khalayak demi memenuhi keuntungan-keuntungan elektoral. Hampir seluruh argumentasi dibangun atas dasar 'kebenaran' agama, dimana seolah-olah tak ada dalil lain yang sanggup meruntuhkan klaim-klaim tersebut, padahal apa yang digambarkan sebenarnya, tak lebih dari upaya 'menelikung' agama itu sendiri.

Dalam kontestasi politik, penelikungan agama kerap terjadi bahkan kadang 'diborgol' dengan alasan pemenuhan kekuasaan. Bagi mereka yang 'merajakan' Jokowi, tentu saja foto-foto dirinya saat menjadi imam salat dipandang tepat, karena dalam Islam, seorang 'imam' tentu saja pemimpin yang layak diikuti seluruh gerakannya layaknya imam dalam salat. 

Padahal, setiap ma'mum (pengikut imam dalam salat) tentu saja dibolehkan 'mufarraqah' atau 'keluar dari barisan salat karena alasan-alasan tertentu'. Politik imam salat sebenarnya aneh dalam suatu ajang kontestasi, kecuali ada tujuan-tujuan politis dibelakangnya yang sengaja dibuat pihak-pihak tertentu sebagai bentuk 'klaim' bahwa orang yang mereka dukung jelas diakui kualitas keagamaannya.

Di sisi lain, video yang menggambarkan cara berwudu Sandiaga yang seciprat, dengan hanya menggunakan air seciduk jelas menuai kritik karena Indonesia tentu saja negeri yang tak tentu saja tak pernah kekurangan air apalagi sekadar untuk berwudhu. 

Lihat saja betapa banyak musala dan masjid, hampir tak ada yang tak berlimpah air, sehingga jika berwudhu hanya seciduk, tentu saja terasa menggelikan---jika tak mau disebut menyesatkan. 

Saya tak perlu membahas kesana-kemari soal dalil-dalil fiqih yang membenarkan soal praktik berwudhu tersebut, namun paling tidak itulah gambaran para calon pemimpin kita yang kerap kali menelikung agama demi sejumput kekuasaan yang dirasakan semakin menggila.

Politik imam salat bagi saya terasa asing, terlebih hal ini disebarluaskan segelintir orang untuk tujuan-tujuan kepentingan kekuasaan. Padahal, masih banyak cara-cara berpolitik yang edukatif yang tak serta merta membawa-bawa simbolisasi agama didalamnya. Alih-alih dapat menaikkan elektabilitas, malah menjadi bahan tertawaan banyak pihak. 

Yang lebih menggelikan tentu saja, seolah begitu sakralnya peristiwa ini sehingga dibawa lebih jauh ke ranah yang relatif substansial. Politik imam salat lalu dinilai sebagai bagian dari "syirik khafi" (menuhankan selain Allah dengan cara tersembunyi) yang dalam kajian sufistik terlampau sulit dipahami orang awam. 

Namun, inilah wajah kepolitikan kita yang kebanyakan tak dipahami banyak orang, tetapi dengan seenaknya membuat klaim-klaim kebenaran demi keuntungan kekuasaan.

Saya kira, bukan hanya terburu-buru, tetapi juga berlebihan ketika hal remeh-temeh politik ini dikaitkan terlampau jauh melewati kajian sufistik. Sebab, hampir setiap orang tentu saja melakukan "syirik khafi" jika yang dimaksud sekadar mempertontonkan simbolisasi agamanya kepada khalayak. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline