Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

La Nyalla Effect atau Politik Ofensif?

Diperbarui: 14 Desember 2018   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebuah pertanyaan sederhana, sejauh mana La Nyalla Matalliti berpengaruh terhadap elektabilitas Jokowi? Jawaban koalisi pendukung petahana jelas, bahwa La Nyalla effect cukup memberi amunisi baru bagi elektabilitas Jokowi saat ini. Namun disisi lain, mantan ketua umum PSSI ini justru dianggap benalu politik karena telah menyebarkan aura negatif di kubu koalisi Prabowo. 

Padahal, ia dulu pernah digadang-gadang Prabowo menjadi cagub di Jatim, namun gagal nyalon. Pertanyaan lainnya muncul, ada apa dengan La Nyalla? Setelah beberapa waktu berkunjung ke kediaman Ma'ruf Amin lalu ramai dengan pernyataan-pernyataannya "menantang" Prabowo?

Untuk segala hal yang terkait politik, mudah saja jawabannya: La Nyalla harus membuktikan bahwa dirinya serius mendukung Jokowi di Pilpres nanti, caranya dengan menggulirkan isu-isu panas kepolitikan yang ditujukan menjatuhkan kredibilitas lawan politiknya. Tak perlu heran dengan dunia politik, karena hampir tak ada kawan atau lawan abadi, karena nalar pragmatisme dapat mengubah begitu mudah seorang yang sebelumnya "lawan" menjadi "kawan" begitupun sebaliknya. 

Sebelum La Nyalla, politisi kawakan Yusril Ihza juga pernah menjadi lawan politik Jokowi, bahkan pakar hukum tatanegara ini paling vokal dalam mengkritik rezim seraya nyaman di kubu oposisi. Namun, alasan dirinya tak dianggap penting dalam oposisi, membuat ia harus memutuskan untuk tak lagi berkawan dan sekarang berbalik menjadi "lawan".    

Seorang elit politik nasional yang "pindah jurusan" tentu saja memiliki dampak secara politik, meskipun tak seluruhnya dapat dikaitkan dengan soal peningkatan elektabilitas kandidat yang didukungnya. Apakah kepindahan Yusril menjadi pendukung Jokowi atau La Nyalla yang tampak garang mendukung petahana berdampak elektoral, perlu dibuktikan terlebih dahulu. 

Bisa saja ini bentuk dari kekalutan kubu petahana yang dinilai mulai berpolitik secara "ofensif" sebagaimana ditegaskan oleh salah seorang pengamat politik. Saya kira, sikap berpolitik secara "ofensif" seringkali menjadi blunder, alih-alih dapat menaikkan sisi elektabilitas para calon kandidatnya.  

Gambaran nyata dari sikap berpolitik secara ofensif dapat dilihat pada diri seorang La Nyalla. Pernyataan-pernyataannya bagi saya cukup mengerikan---karena memang ofensif---ketika ia misalnya, siap dipotong leher demi bukti nyata sebuah dukungan politik. Bukan hanya janji ngeri soal ini, La Nyalla mengobral dosa politik di masa lalunya dan menyatakan diri bertobat karena dirinyalah yang ikut mendanai dan terlibat dalam penyebaran tabloid Obor Rakyat yang isinya "kampanye hitam" kepada Jokowi. 

Yang paling mengerikan sebenarnya ketika La Nyalla membawa ruang privasi agama ke ranah publik, dimana ia menantang capres Prabowo untuk menjadi imam salat, membaca al-Quran, untuk sekadar membuktikan bahwa Prabowo layak dipilih karena kualitas keagamaannya.

Sikap politik ofensif memang tak lagi menyoal ruang-ruang publik politik, tetapi lebih kepada sisi pribadi seorang kandidat politik. Maka tak heran, berbagai ungkapan yang menyerang sisi kepribadian setiap kontestan memang tampak jor-joran. Sulit rasanya untuk membangun sebuah kenyataan, bahwa kepemimpinan politik itu bersifat "kolektif-kolegial" yang tentu saja berkonotasi publik, bukan semata-mata privat. 

La Nyalla effect ini seakan terus bergulir membangun ruang-ruang privasi politik yang "dipublikasi" termasuk baru-baru ini muncul Sandiwara Uno effect setelah dirinya disebut melakukan "playing victim" saat safari politiknya di Sumatera Utara.

Semakin dekatnya ajang perhelatan politik nasional, rasa-rasanya pertarungan politik semakin tak masuk akal. Kubu politik pendukung petahana sepertinya semakin kepepet, lalu memanfaatkan beberapa politisi yang "pindah jurusan" seolah "dipaksa" melakukan pertobatan politik. Mungkin tak berlebihan jika Kapitra, Yusril, dan La Nyalla seperti mewakili kelompok-kelompok kepentingan yang sebelumnya berseberangan kini justru tampak beriringan. Kapitra "mewakili" kelompok 212, Yusril bagian dari kelompok politisi, dan La Nyalla disebut mewakili pengusaha.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline