Mungkin seperangkat teori solidaritas sosial yang awalnya dipopulerkan Emile Durkheim dengan mengungkap bahwa setiap kelompok masyarakat atau komunitas akan membangun suasana saling percaya yang didorong oleh persamaan latar belakang atau keyakinan, lalu mewujud dalam bentuk pertanggungjawaban bersama untuk saling menjaga, menghormati, bahkan ikut memperhatikan kepentingan sesamanya, mungkin saja kehilangan relevansinya ditengah "solidaritas kekerasan" yang ditunjukkan sekelompok orang ketika bersama-sama berbuat kerusakan.
Anehnya, aparat yang selalu menunjukkan solidaritasnya dalam soal penegakan hukum, justru diserbu bahkan kantornya dirusak oleh sekelompok orang yang juga berbuat atas nama "solidaritas".
Peristiwa perusakan dan pembakaran Polsek Ciracas oleh sekelompok orang yang mengaku terdorong rasa solidaritas karena sesama rekannya disakiti, mungkin contoh paling nyata suatu solidaritas dalam hal kekerasan. Tak ada motif lain yang mendorong sekian banyak orang melakukan aksi penyerbuan, perusakan, dan bahkan pembakaran kecuali nilai-nilai solidaritas yang sejauh ini mereka pahami.
Mungkin ada benarnya ketika ada sebuah pepatah, "gara-gara nilai setitik, rusak susu sebelangga" yang mungkin tepat memotret kondisi aksi solidaritas dalam hal kekerasan yang pada akhirnya merusak semua nilai solidaritas kekelompokannya hanya karena membela satu orang yang bermasalah.
Saya tentu saja ikut menepuk dahi, bagaimana bisa solidaritas dipergunakan dalam hal-hal berbuat kerusakan? Apakah ada yang salah dengan teori solidaritas sejauh ini? Tapi memang sejauh ini menjadi kenyataan dibanyak beberapa kelompok sosial yang membangun solidaritasnya sendiri tetapi justru bertujuan untuk melakukan intimidasi, meneror, menakut-nakuti, dan semacamnya kepada kelompok tertentu atau pihak lainnya.
Jika solidaritas ternyata lebih mengarah kepada aksi "fanatisme buta" kekelompokkan tentu saja ini sebatas bentuk patologi sosial atau bahkan bisa jadi "penyimpangan sosial" jika memang sengaja dilakukan untuk tujuan-tujuan memecah-belah bukan mempererat solidaritas sosial secara lebih luas.
Tak perlu jauh-jauh saya kira, kemunculan sedemikian banyak ormas ditengah masyarakat justru bukan memperkuat nilai-nilai solidaritas, dengan menjaga atau melindungi sesamanya, tetapi yang terjadi malah arogansi identitas yang bahkan selalu ingin mendapatkan pengakuan secara sosial.
Bukankah banyak cerita yang beredar di masyarakat, dimana banyak ormas yang melakukan intimidasi dengan cara pungli terhadap para pedagang kecil, juru parkir, pengusaha "kelas jalan raya", bahkan mungkin ada saja yang sekelompok penagih utang yang tidak "solider" ketika ditugaskan perusahaan tertentu untuk menagih utang kepada masyarakat.
Barangkali yang lebih mengharukan lagi soal solidaritas yang dibangun antarsesama anak bangsa dalam kelompok elit masyarakat terdidik, bahkan mereka dilatih secara ketat soal bagaimana mempertahankan dan membela negara dan rakyatnya. Namun rupanya, suasana solidaritas itu dipahami dan dibangun secara sempit sebatas ikatan emosional yang pada akhirnya melahirkan sikap "ekslusivisme" yang seringkali bertindak arogan ketika salah satu anggota dalam kelompok solidaritasnya terganggu.
Solidaritas terjun bebas, menjadi pecahan-pecahan emosional pribadi yang menyatu dalam fanatisme buta kekelompokkan yang justru menjauhi nilai-nilai solidaritas itu sendiri.
Berbagai rentetan peristiwa yang memicu aksi solidaritas kekelompokan atau komunal lebih sering menimbulkan konflik dan kekerasan sosial daripada menciptakan perdamaian dan kenyamanan publik. Mungkin saja hal ini cermin dari gagalnya para elit menterjemahkan nilai-nilai solidaritas sosial secara lebih membumi, karena umumnya mereka yang disebut "elitis" juga hanya membangun solidaritas dengan sesama elitnya sebatas membangun kepercauaan dalam prinsip-prinsip keekomian, bisnis, politik, atau jaringan-jaringan kekuasaan.