Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Sosok "Jaenudin Nachiro" dalam Puisi Fadli Zon

Diperbarui: 7 Desember 2018   05:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kompas.com

Ulah kritis para politisi zaman now ini memang selalu ada-ada saja. Umumnya, kritik itu ditujukan untuk hal-hal yang bersifat kebijakan, sehingga kritik tentu saja berdampak pada soal kebijakan politik yang mensejahterakan masyarakat. Namun, para politisi zaman now tentu saja bersikap kritis bahkan seringkali mengada-ada yang ditujukan kepada pribadi seseorang. 

Politisi Gerindra Fadli Zon, memang kerapkali melontarkan kritik yang menyerang kubu lawan politik, terutama menyerang secara pribadi, bukan pada bentuk dalam hal mengkritisi sebuah kebijakan.

Beberapa waktu yang lalu, puisinya tentang "potong bebek angsa" sempat viral dan kini Fadli membuat puisi yang kurang lebih sama, menyerang pribadi Jokowi dengan sebutan "Jaenudin Nachiro".

Mungkin masih lekat dalam ingatan kita, saat Presiden Jokowi menutup acara Festival Bintang Vokalis Qasidah Gambus Tingkat Nasional di Pondok Gede, Jakarta lalu bersenandung lagu "diin as-salaam" yang dipopulerkan grup gambus milenial Sabyan. Syair yang seharusnya "zainuddin yahtirom" dibaca oleh Jokowi seolah "jaenudin nachiro" karena memang Jokowi tak fasih berbahasa Arab. 

Namun demikian, dalam pidato selanjutnya ketika menjelaskan bait-bait lagu ini, secara fasih Jokowi menyebut "zayinuu addunya ihtiroom" yang jika diterjemahkan kira-kira, "hiasilah dunia itu dengan saling memuliakan".

Jokowi tampaknya memang mengapresiasi keberadaan gambus yang belakangan kian populer setelah grup Sabyan sukses mengemasnya secara baik dan milenialistik.

Hal inilah barangkali yang kemudian menginspirasi Fadli untuk mengunggah sebuah puisi menyoal "keseleo lidah" Jokowi saat mendendangkan lagu "diin as-salam" yang digubah Sabyan.

Fadli tentu saja menolak menyebutkan siapa sosok jainudin yang dimaksud dalam puisinya dan membiarkan publik untuk menelusuri sendiri siapa sosok yang ia maksud. 

Menariknya, soal puisi ini mungkin saja sebagai bentuk aksi politik balasan, karena Prabowo juga pernah disindir soal pidato dirinya di kegiatan Reuni 212 yang menyebut "hulaihi wasallam" padahal seharusnya "shallallahu 'alaihi wa sallam".

Inilah realitas kepolitikan kita yang sesungguhnya, lebih banyak menyerang sisi pribadi setiap kandidat dibanding mengkritisi setiap kebijakan atau visi-misi politiknya.

Diakui maupun tidak, kedua kandidat yang saat ini sedang berkompetisi di Pilpres 2019, memang bukanlah orang-orang yang fasih berbahasa Arab. Tapi seolah-olah, mereka ingin menunjukkan kecakapannya di depan publik, tak peduli jika terjadi kesalahan lidah dalam ucapannya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline