Narasi nyinyir dan merendahkan dalam dunia politik itu sudah menjadi hal biasa, bahkan sudah pada level yang "luar biasa". Masing-masing pihak yang berada dalam barisan kontestan politik, bahkan terkesan sibuk membuat narasi tandingan, guna menangkis berbagai upaya "pelecehan" politik yang dibuat oleh para lawan politiknya.
Sulit untuk tidak dikatakan, momen Pilpres kali lebih banyak dibangun berdasarkan asumsi politik, narasi kritis yang merendahkan, atau jargon-jargon populer dalam menyatakan beragam isu politik kekinian yang mungkin sama sekali miskin ide dan hampir luput dari tema besar kepentingan nasional.
Tak berlebihan, jika saya katakan, ketika kandidat cawapres Ma'ruf Amin menyebut "Al-Makiyun" dengan maksud menyebut banyaknya pihak yang "saling memaki" tepat setelah gaduhnya ucapan "tampang Boyolali" Prabowo Subianto.
Bagi seorang kiai seperti Ma'ruf, ungkapan bahasa Arab bisa menjadi hal yang populer walaupun sebenarnya istilah itu diplesetkan. Istilah "al-makiyun" memang sepintas jika diterjemahkan berarti "ahli mekah" atau "orang mekah".
Namun serasa pas ketika narasi politik lebih banyak ditunjukkan dengan "saling memaki" oleh berbagai pihak, maka istilah itu diplesetkan kiai asal Banten ini.
Memang harus diakui, dunia politik jelang pilpres ini dipenuhi oleh narasi-narasi makian yang saling serang antarkubu bahkan mungkin sudah dalam tahap sangat mengkhawatirkan.
Moralitas politik tampaknya hampir tak berlaku, bahkan menjadi sebatas ilusi yang tak mungkin hadir dalam setiap kontestasi politik.
Menariknya, seloroh nyinyir dan merendahkan ini---terlepas dari apakah itu bercanda atau sengaja---selalu ditanggapi secara berlebihan, bahkan tak heran jika hal sesederhana ini dapat menimbulkan kegaduhan bahkan hingga aksi turun ke jalan.
Sepertinya, ada pihak-pihak yang tak pernah merasa puas atau bahkan dendam sehingga harus dapat menggaungkan narasi tandingan, bila perlu lebih sadis dari lawan politiknya.
Masing-masing pihak akan menuntut keadilannya sendiri-sendiri, bahkan bila perlu tak perlu rumit-rumit mengikuti aturan birokrasi. Seperti "qishahs" politik, yang membalas segala sesuatunya dengan ungkapan yang sama merendahkan, sama melecehkan, dan mungkin saja bisa lebih menyakitkan.
Ditengah ekspektasi masyarakat yang sedemikian tinggi terhadap pergantian kekuasaan, sulit rasanya bagi masing-masing pihak kontestan saling menahan diri, kecuali terus menerus terbawa arus dalam lingkaran narasi politik yang menjengkelkan.