Dalam suatu iklim demokratis, aksi massa dalam bentuk apa saja tentu saja tak dilarang, termasuk aksi yang menamakan dirinya bela tauhid. Konon, aksi ini muncul karena merasa tersinggung atas peristiwa pembakaran bendera bertuliskan kalimat tauhid, "Laa Ilaaha Illallah" yang dilakukan oknum Banser ketika kegiatan Hari Santri Nasional di Garut.
Polemik soal apakah itu bendera tauhid atau bendera HTI yang notabene ormas yang dilarang pemerintah, seakan sulit mendapatkan titik temu. Pihak aparat yang menangani kasus ini menyatakan, itu bendera HTI yang sekaligus diamini pihak Banser, namun disisi lain, itu adalah bendera tauhid bukan bendera ormas, sehingga isu ini menggerakan simpati masyarakat untuk menggelar aksi bela bendera tauhid hari ini.
Saya sendiri belum pernah menemukan istilah "bendera tauhid" kecuali setelah gaduhnya peristiwa pembakaran bendera tersebut di Garut. Tauhid, tentu saja entitas keimanan yang terdalam yang tidak tertuang dalam sebuah tulisan apalagi sekadar bendera.
Entitas itu justru mewujud dalam sikap dan prilaku yang menjunjung tinggi aspek pembebasan dari seluruh kekuatan apapun di alam raya ini, kecuali Kemahakuasaan Tuhan. Inti dari ketauhidan yang disakralkan umat Islam ada dalam entitas kalimat tauhid, sebagai puncak tertinggi kebebasan manusia dari segala anasir keduniaan dengan menolak mengakui kekuatan atau kehebatan apapun, kecuali hanya Tuhan yang patut memilikinya.
Jika aksi yang dimaksud adalah "bela tauhid", justru tampak semakin absurd, mengingat tauhid sebagai entitas tertinggi dalam substansi kehidupan manusia, lalu dianggap "lemah" sehingga perlu dilakukan pembelaan.
Saya justru melihat, aksi ini sebagai bentuk solidaritas saja yang memang digerakkan oleh kelompok-kelompok tertentu dengan tujuan-tujuan tertentu pula. Menariknya, perspektif soal tauhid, terlebih dengan benderanya, justru memang tidak mudah dipahami kebanyakan orang.
Aksi solidaritas itu muncul sekadar didorong semangat keagamaan yang kosong nilai-nilai pengetahuan yang memadai. Kalaupun aksi ini disisipi agenda politik yang tersembunyi, kemungkinan memang digerakkan oleh sekelompok politisi kemarin sore yang juga sama, hanya memiliki semangat tetapi tak cukup pengetahuan dan pengalaman soal politik.
Realitas politik dan keagamaan yang belakangan ini seringkali bersinggungan, justru karena diramaikan oleh kalangan politisi kemaren sore yang mencoba mencari keuntungan ditengah eskalasi publik yang begitu menggandrungi gairah dakwah. Kemunculan para simpatisan yang "by accident" justru semakin meluas akibat banjirnya informasi yang simpang-siur diterima oleh mereka.
Mungkin kita dapat menganalogikannya seperti tukang sayur, yang membaca setumpuk makalah bekas atau guntingan koran sebelum dipergunakan untuk membungkus barang dagangannya. Lalu dengan bangga, ia menceritakan apa yang telah dibacanya kepada para pembeli dengan penuh semangat, seolah-olah ia banyak tahu soal informasi.
Tak berlebihan kiranya, jika kemunculan politisi kemarin sore yang memanfaatkan banyak hal, justru tak ubahnya tukang sayur sebagaimana analogi diatas. Kebanyakan dari kita, memang tak pernah mendapatkan informasi secara utuh ditambah oleh semangat solidaritas yang tinggi sehingga seringkali tiba-tiba menjadi "pembenar" atas hal apapun, termasuk soal politik dan agama.
Yang lebih menggelikan lagi, ada sementara orang yang menilai orang lain sebagai politisi kemarin sore, padahal dirinya bukan politisi, atau memang karena dirinya sedang menutupi kebodohannya sendiri.