Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Repolitisasi Kaum Santri

Diperbarui: 22 Oktober 2018   10:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Momen Hari Santri Nasional (HSN) yang diperingati setiap tanggal 22 Oktober tidak sepenuhnya mengaktualisasikan dimensi kesantrian dan keindonesiaan, namun terdapat kecenderungan sekadar pemenuhan ekspektasi politik kesantrian---jika tidak mau disebut sebagai komoditas politik---ditengah euforia kaum santri terhadap kekuasaan. 

Apel peringatan HSN di berbagai daerah dengan segala atribusi kesantriannya seakan-akan menunjukkan adanya suatu mobilitas politik jelang pelaksaaan pemilu, dibanding melecut aktualisasi diri dimana santri dianggap sebagai kelompok elite dalam masyarakat. 

Santri, tentu saja perlu diredifinisi tidak sebatas mereka yang terdidik dan terpelajar---khususnya dalam hal keagamaan Islam---namun yang lebih penting, sebagai kelompok elit, mampu memberikan pengaruh signifikan terhadap kemajuan bangsa.

Sejauh ini, santri terbatas hanya didefinisikan sebagai orang-orang yang mendalami agama Islam sehingga berdampak secara pribadi terhadap kesalehannya. 

Entitas santri lebih berkonotasi primordial, parsial, bahkan terkesan hanya milik kelompok tertentu. Padahal, santri perlu diredifinisi, mengingat aspek kesantrian lekat dengan tradisi, budaya, moralitas, karakter, yang sangat asli Indonesia. 

Jika santri adalah mereka yang memperdalam agama Islam, berarti linier dengan aspek kesalehan yang melekat, dimana santri tentu saja semakin cerdas, mengedepankan kewarasan berpikir, senang dengan nasehat, toleransi, saling menghormati, dan tak pernah ambisi.

Santri juga bukan milik kalangan tertentu, sehingga tak semestinya dieksploitasi secara politik demi pemenuhan kebutuhan kekuasaan. Bagaimana tidak, tak jarang dimana momen HSN kental dengan nuansa "politisasi"nya dengan mempertontonkan bagaimana kelompok elit dalam masyarakat ini secara sadar merepolitisasi dirinya sebagai kelompok pendukung politik penguasa. 

Padahal, berpolitik ala santri tentu saja bagaimana mereka dapat berkontribusi besar bagi bangsa dan negara melalui cara pandang mereka terhadap agama, dengan mengisinya, memperbaiki, menasehati, mewarnai, dan bahkan mampu "mendikte" kekuasaan. Kelompok santri harus mampu berambisi dalam membangun citra moralitas, yang berdampak terhadap seluruh kehidupan bangsa dan negara.

Ditengah menguatnya arus deras konflik keagamaan belakangan ini, kelompok santri justru seharusnya menjadi "penengah" bukan malah terbuai ikut larut dalam konflik dan cenderung memberikan pembelaan-pembelaan kepada penguasa. 

Saya kira, ajaran-ajaran yang pernah disampaikan oleh tokoh-tokoh santri era kemerdekaan soal mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dibanding kepentingan kelompok dan selalu mampu memperbaiki situasi konflik dengan tidak ikut larut didalamnya, patut selalu diaktualisasikan dan direnungkan. Aktualisasi politik santri era kemerdekaan, cenderung tak mengabaikan nasehat, dan hal itu justru menjadi bagian terpenting dari kontribusi politik kebangsaan dan kenegaraan.

Santri adalah mereka yang sangat mencintai ilmu pengetahuan, sehingga penghargaannya akan ilmu justru memberikan dampak perubahan yang sanga sangat signifikan terhadap metode berpikir, aspek moral, penerimaan yang baik atas setiap perubahan dan mampu mengkritisi banyak hal, termasuk kritis terhadap berbagai kebijakan politik penguasa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline