Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Kita, Hoaks, dan Bencana Kemanusiaan

Diperbarui: 5 Oktober 2018   13:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sejauh ini, hoaks (kabar bohong) seakan menjadi gaya hidup era milenial ditengah membanjirnya beragam informasi yang menjadi konsumsi masyarakat. Tak ada yang patut dipersalahkan dalam hal penyebarannya yang sedemikian masif, karena terkadang media-media mainstream juga ada yang berpartisipasi ikut menyebarkannya. 

Disisi lain, otak manusia sesungguhnya mudah termanipulasi---meminjam bahasa Psikolog Daniel Kahneman---dan terbohongi karena sedemikian cepat dan masifnya informasi yang diterima. Kegagalan setiap orang dalam memilah atau menyeleksi setiap informasi yang diterimanya akibat digitalisasi informasi, menunujukkan efek bencana kemanusiaan yang lambat laun kian mendegradasi sisi kognitif kecerdasan manusia.

Hoaks yang semakin terbiasa dikonsumsi publik, malah semakin berjaya menjadi semacam gaya hidup yang seringkali dimanfaatkan untuk hal-hal tertentu: kepentingan politik, persaingan bisnis, atau sebagai mata pencaharian yang menjanjikan aspek keekonomian. 

Sulit untuk tidak dikatakan, sistem kapitalisme yang diterima sebagai sebuah kenyataan sosial-ekonomi-politik, menuntut setiap orang untuk serba cepat dan instan, potong kompas sekadar mendapatkan keuntungan serba materi ditengah ketatnya dinamika persaingan bisnis yang mengglobal. Hoaks tak bisa dilihat dari sisi kepentingan politik an sich, atau memang sengaja dibuat demi merusak sendi-sendi keutuhan sosial.

Membicarakan hoaks dalam konteks luas sosial-kepolitikan---terutama di Indonesia, bukan melulu dianggap sebagai suatu skenario besar demi mengejar tujuan-tujuan tertentu. 

Melihat dari model penyebarannya yang sedemikian masif dan terungkapnya mereka yang menyebarkannya, hampir dipastikan tak terkait jaringan apapun---kecuali sisi bisnis sebagaimana kasus Saracen---sehingga fenomena ini jelas merupakan bencana literasi kemanusiaan yang menimpa hampir seluruh masyarakat dimanapun. 

Efek negatif dunia digital justru menemukan momentumnya disini, dimana hoaks menjadi gaya hidup masyarakat bertolak belakang dengan kenyataan (kemunduran?)budaya literasi.

Lalu, bagaimana cara mengatasinya? Saya kira banyak negara-negara tertentu yang mengatasinya melalui pemblokiran ragam aplikasi media sosial dengan tujuan utama memutus mata rantai penyebaran hoaks atau informasi bohong yang merusak. 

Memberikan penyadaran kepada masyarakat agar tak mudah terprovokasi atau memberikan rangsangan agar lebih dapat berpikir sehat dengan memilah gempuran informasi, bukanlah hal yang mudah. Keberadaan masyarakat pegiat anti-hoaks pun tampaknya tak berdaya, bahkan mereka kadang terkesan kurang berimbang karena tanpa sadar justru "membela" kepentingan-kepentingan kelompok masyarakat tertentu.

Mungkin ada benarnya ketika Steve Tesich mempopulerkan istilah "post-truth" (pasca kebenaran) yang menggambarkan sedemikian mudahnya setiap orang menganggap "kebenaran" informasi apapun atas dorongan tarikan emosi (appeal to emotion) dan keyakinan pribadi. 

Terlepas dari soal perdebatan yang menyoal istilah ini, gencarnya informasi hoaks yang semakin mudah saja dianggap kebenaran oleh masyarakat menunjukkan lemahnya tingkat literasi bahkan menjadi bencana kemanusiaan. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline