Lihat ke Halaman Asli

Syahirul Alim

TERVERIFIKASI

Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Hijrah ala Kiai Ma'ruf: dari Kultural ke Struktural

Diperbarui: 24 September 2018   16:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Cawapres KH Ma'ruf Amin kelihatannya sudah total mengabdikan dirinya dalam gelanggang kontestasi politik. Setelah sebelumnya secara resmi mengundurkan diri dari PBNU---sebagai Rais Aam---Ma'ruf sudah mulai menggalang dukungan terutama dari kantong-kantong suara muslim. 

Walaupun banyak kritik yang diarahkan soal keberadaan dirinya di MUI karena ia tak akan mundur hingga terpilih nanti, namun ada kemungkinan pada akhirnya kiai sepuh NU ini cepat atau lambat akan mengurus proses pengunduran dirinya. 

MUI memang bukan lembaga politik, bukan ormas, ataupun struktural kenegaraan, sehingga jabatan ketua umum yang melekat pada kiai Ma'ruf tak berdampak apapun terhadap pencalonan dirinya sebagai cawapres Jokowi.

Menarik ketika Ma'ruf menyebut dirinya "berhijrah" dari jalur kultural ke struktural (lihat detik.com, 24/09/2018) yang berarti totalitas ulama NU ini berkiprah sepenuhnya di jalur politik. Hijrah yang secara etimologis memang berarti "berpindah" (intiqaal) bahkan "memisahkan diri" (mufaaraqah) sepertinya memang sedang dialami ulama keturunan Syekh Nawawi al-Bantani ini. 

Namun, "hijrah politik" ala NU seperti ini memang seringkali dilakukan para tokohnya, mengingat NU sangat akomodatif terhadap segala hal apapun, termasuk dalam konteks kekuasaan politik. Berdirinya PKB, sebagai parpol besutan warga NU, juga kurang lebih sama merupakan langkah dari "kultural" menjadi "struktural".   

Itulah sebabnya, ketika Ma'ruf Amin dipilih menjadi cawapres Jokowi dalam ajang Pilpres 2019 mendatang, ada semacam kebanggan luar biasa disebagian kalangan NU "struktural" dan mereka jelas secara penuh menerima dan mendukungnya. Walaupun tak menutup kemungkinan, warga NU yang terafiliasi secara "kultural" tak sedikit yang kecewa karena ulama panutannya justru berkecimpung dalam ranah politik yang serba "kotor". 

Namun, inilah hijrah yang dilakukan Ma'ruf Amin, memisahkan diri (mafaraqah) dari dunia kultur NU yang sarat pendidikan, pengkhidmatan terhadap tradisi dan budaya keislaman yang luhur. Ma'ruf Amin justru "pindah" (intiqaal) menjauhi ranah kultural NU untuk selamanya dan berkhidmat dalam "struktur" politik yang sama sekali berbeda sebelumnya.

Mungkin bukan suatu kebetulan, bahwa dalam bulan Hijriyah saat ini masih dalam bulan Muharam, bulan dimana Rasulullah untuk pertama kalinya melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Pilihan Rasulullah terhadap bulan Muharam karena bulan ini merupakan empat diantara bulan yang "dihormati" (asyhurul hurum), selain Dzulqa'dah, Dzulhijjah, dan Rajab. 

Tujuan berhijrah Rasulullah tentu saja memisahkan diri dari berbagai situasi tekanan yang merugikan, baik secara fisik maupun psikis dari kesewenang-wenangan penguasa kafir Quraisy di Mekah dan mencari wilayah lain yang lebih aman dan nyaman. Walaupun tak menutup kemungkinan, tujuan hijrah Ma'ruf Amin dengan berasumsi pada peristiwa hijrahnya Nabi, ada kemiripan.

Narasi hijrah yang diungkapkan Ma'ruf Amin didepan wartawan, yang secara langsung menyebut perpindahan dirinya dari situasi "kultural" ke "struktural", secara langsung meminta dukungan kepada khalayak agar ia dibantu dalam proses totalitas hijrah. 

Tak ada lagi semestinya nuansa ulama kharismatis yang melekat secara kultural dalam pribadinya, karena ia sekarang merupakan cawapres yang secara struktural akan lebih berfokus memenangkan ajang kontestasi politik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline